Part 28. Ancaman

124 13 0
                                    

"Busuk telusupi napas hingga raga hampir lepas,"

                    _Bara_

Menumis buncis di atas wajan, Bara tampak gembira hari ini. Dia telah menuntaskan pekerjaanya sejak tadi, dengan itu maka bisa sedikit santai mengerjakan pekerjaan terakhirnya. Masakan itu matang menebarkan aroma sedap hingga menjalar ke kamar tidur Ayessa dan Rocky, mereka bukannya tergoda dengan bau itu malah terganggu. Ayessa terbangun mengambil balok kayu di sudut kamar tidurnya, dia bawa balok kayu itu ke dapur menghampiri Bara yang berseri-seri menghidangkan makanan. Tanpa aba-aba, Ayessa mengayunkan balok kau yang dia bawa ke punggung Bara.

"Bugh!" Suara punggung Bara terpukul keras hingga tulang punggung Bara seakan mau patah.

"Arrghh!" Erang Bara ketika punggungnya di pukul dengan kasar.

"Kalau masak nanti saja, baunya menganggu saya tidur!" Bentak Ayessa memelototkan matanya.

Anggukan kecil yang Bara berikan sambil berlalu membawa sepiring tumis buncis bersama nasi sebakul dan dua jus segar di atas nampan ke ruang tamu, dia menyajikan makanan bawaanya di atas meja ruang tamu dengan hati-hati. Lalu kembali ke kamarnya, berpapasan dengan Ayessa yang menggulirkan kursi rodanya kembali ke kamarnya. Bara menekuk lututnya mengambil lilin yang dia sembunyikan di balik jemdela dan menyalakannya satu persatu, sudah lama dia tidak di temani ibunya. Rasa rindu begitu lekat membuat Bara selalu teringat dengannya.

Memeluk foto kecil yang lusuh karena terlalu lama di dalam saku, Bara menangis deras mulai menceritakan kehidupan pahitnya setelah di tinggal Almh. Ratna. Dia terbayang saat Almh. Ratna merentangkan kedua kaki lalu merapatkannya, dia letakkan kepalanya di pangkuan Almh. Ratna dan di belai oleh Almh. Ratna penuh kasih sayang, hal itu membuat Bara betah berlama-lama di pangkuan Almh. Ratna, kini semuanya hanya bayangan yang terputar di dalam otaknya. Pesan terakhir dari Almh. Ratna ibu kesayangannya, selalu terngiang-ngiang di pikirannya bahkan  seakan tertancap di dahinya. Tapi pesan itu terkadang tidak dia jalankan karena siksaan yang begitu membuat nyawanya terpisah dari raga.

"Kamu ini lelaki, apapun yang terjadi jangan sampai air mata yang begitu suci ini, mengalir hanya untuk orang yang membuatmu sakit hati,"

Begitulah pesannya, itu semua tidak ada sekata pun yang Bara lupakan. Dia memang lalai karena dirinya lemah, air mata tidak berhenti mengalir bahkan foto yang semulanya kering. Basah karena air mata, dia pandang lilin-lilin kecil yang seakan-akan tidak pernah habis dengan tatapan sayu. Semua cerita telah terulas dengan rapi tapi seakan ada yang mengganjal di dalam hati Bara, selesai makan. Pino tidak sengaja melewati kamar Bara, dia berhenti di jendela samping pintu dan mengintip apa yang Bara lakukan. Dia menggelengkan kepala melihat kelakuan aneh Bara, benar-benar tidak normal yang Bara lakukan pikirnya. Dari belakang Rocky menepuk pundak Pino, hal itu membuatnya langsung berbalik badan menghadap Rocky yang menatapnya datar.

Memerintahkan Pino untuk menyuruh Bara mengantarkan istrinya jalan-jalan ke taman, Rocky berlalu dengan langkah tegas meninggalkan Pino yang mengulurkan senyum pertanda siap untuk menjalankan perintahnya. Dia mengambil tas dia tas meja yang telah di siapkan oleh Ayessa, dengan di antar istrinya kesayangannya. Mendapat perintah itu, Pino bergeas membuka pintu kamar Bara tanpa pemisi membuat Bara terlonjak ke samping. Dia bergegas mematikan lilin dan di sembunyikan, foto yang basah hampir menjadi bubur itu dia kembalikan ke dalam saku.

"Huh, dasar orang aneh! Sana anterin nyonya Ayessa ke taman. Sekarang!" Gertak Pino mengangkat kerah baju Bara dari belakang lalu dia lemparkan sampai depan pintu membuat dengkul Bara membentur lantai.

Merangkak menuruni tangga, Bara menghampiri Ayessa yang sedang memainkan ponsel di tangannya. Dia melirik Bara sinis, lalu kembali di sibukkan dengan ponselnya. Bara mendorong kursi roda yang Ayessa duduki pelan menuju taman letaknya tidak jauh dari rumah, sampai di taman itu. Tidak seperti biasanya, memetik bunga lalu menikmati keharumannya. Ayessa melangkahkan kakinya dari kursi roda ke tanah perlahan-lahan, dia berdiri dengan sigap melangkahkan kakinya lancar  seperti orang yang tidak pernah sakit lumpuh. Seketika itu, mulut Bara ternganga melihat apa yang terjadi di depannya. Dia tak menyangka selama ini semuanya hanya sandiwara.

Mengetahui Bara yang terkejut meihatnya, Dia menjambak rambut Bara dari belakang dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Bara. Dia membisikkan sesuatu dengan nada lembut tapi mencekam di telinga Bara, dia begitu merinding seperti di ceritakan hal-hal mistis di telinganya. Bara mematung tidak bisa mengambil keputusan akan apa yang di bisikkan Ayessa. Dia harus diam atas apa yang dia lihat, tidak boleh sesiapapun tau selain dirinya. Sesaat berpikir keras hingga dia mengangguk setuju.

"Aku bisa jalan baru-baru ini dan tidak ada yang mengetahuinya selain kamu, awalnya aku belajar jalan sendiri di dalam kamar ganti selama seminggu terakhir. Kamu tau sendiri hasil cek upku selalu saja baik tapi dokter mengiringi hasil itu dengan alasan meminum obat rutin kan? Maka dari itu aku nekat untuk belajar berjalan sendiri supaya aku bisa ikut andil menyiksamu, anak manis!" Cerocos Ayessa panjang lebar sambil membelakangi Bara.

"Apa dosaku tante? Kurang puaskah perlakuan suamimu, bodyguart gak punya otak itu padaku?" Bantah Bara tidak bisa terima begitu saja.

Plak!

Plak!

Plak!

Prakk!

Suara pipi  Bara di tampar tiga kali kiri kanan, di tambah Ayessa mematahkan tulang lengannya Bara dengan highils yang dia kenakan.

"Arrghh! Sa... Sakitt!" Erang Bara pipinya membiru, tulang lengannya patah.

"Dasar nakal! Tidak ada yang bisa menghina orang-orang seisi rumahku apalagi kamu, budak gak tau diri!" Geryak Liora menjambak rambut Bara kasar membisikkan itu sambil menyatukan gigi bagian atas dengan bagian bawah.

Bara meringis kesakitan memegangi Lengannya yang memerah seakan darahnya akan keluar, pipinya membiru lebam, dia merasa begitu bodoh melontarkan ucapan itu yang jelas-jelas akan membuat Ayessa marah. Ayessa kembali duduk di kursi roda, dia mengulirkan kursi roda itu hendak pulang meninggalkan Bara yang terdiam menekuk lutut di tanah.

"Arrrghh!" Erang Bara panjang, ketika tangan yang tulangnya sudah patah kembali di lindah oleh rodanya kursi roda yang di duduki Ayessa.

Berlalu dengan kursi rodanya, Ayessa tidak merasa bersalah sedikit pun. Bara meremas tanah menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, keram, linu yang teramat sakit mencengkeram lengannya bertambah sesak di dada bercampur menjadi satu dalam tubuhnya Bara. Dia terdiam di tempatnya menahan rasa sakit yang membuatnya tidak karuan, merangkak dia berusaha untuk berpindah tempat membuntuti Ayessa yang mungkin sudah sampai rumah.

                Bersambung

Bara [END] OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang