Part 10. putus sekolah

103 14 0
                                    

Ku teruskan biaya tak senada, ku hentikan raih jalan seribu guna.

                    -Bara-

Bara menjalankan hukuman dari Liora sebab pagi tadi lupa untuk beberes, dengan tertatih-tatih Bara mencoba memasak air dan membuatkan roti bakar untuk Liora, Dina dan Ahsan yang baru pulang dari luar kota.

Beberapa saat air matang. Bara hendak memindahkan panci dari atas gas ke tempat lain namun di saat memindahkan, air itu menumpahi kaki Bara, dengan cepat Bara meletakkan panci itu di samping wadah piring lalu ia berjongkok melihat kakinya yang melepuh.

Ahsan yang hendak mandi, mengetahui itu langsung emosi dan menumpahkan semua air panasnya ke tubuh Bara. Untung saja Bara sigap menjauh dan hanya terkena sedikit di tangannya, kalo tidak pasti akan masuk rumah sakit.

"Yah! Ayah tau gak kalo yang ayah lakukan itu bisa menyakiti Bara?" Tegur Bara melirik ayahnya yang berdiri di depannya.

"Menyakiti kamu? Lalu ayah harus iba? Hah, anak pembawa sial! Kamu itu memang benar-benar gak guna, masak air aja gak bisa apalagi yang lainnya, makannya ayah tumpahin aja semuanya biar kamu tau rasa!" Bentak Ahsan dengan nada kasar lalu ia masuk ke kamar mandi.

Bara hanya bisa menunduk memandangi lukanya. Ia beranjak tertatih-tatih pergi ke dalam gudang, ia membuka kelambu gudang lebar memperlihatkan ke luar.

"Ibu, kemaren kamu menguatkanku dalam mimpi tapi apakah malam ini kau akan mendatangiku lagi? Sungguh pelukanmu sangat kunantikan," gumam Bara sambil duduk di pojok jendela.

Ketika malam berganti pagi, Bara masih tertidur pulas. Tidak seperti biasanya yang semangat bangun pagi, Bara bangun karena tersorot matahari dari ventilasi. Ia langsung merintih sakit memegangi tangannya yang terikat sapu tangan.

"Masa ia luka tanganku infeksi, aku udah obati kok waktu itu," gumam Bara tertatih-tatih berdiri.

Liora datang membawa setumpuk baju kotor di tangannya, tangan satunya membawa baju bersih untuk di setrika.

"Kerjakan ini semua secepatnya ya! Ayahmu akan gunakan cepat," suruh Liora lantang.

"Tapi kan Bara harus sekolah bu, apa tidak bisa nanti aja?" Tanya Bara menawar.

"Gak bisa, harus sekarang kamu ngerjainnya! Oh atau kamu putus sekolah aja. Lagian kan bentar lagi ujian dan spp kamu nunggak, biaya dari mana kamu untuk ikut hah? Dah sana kerjain," gertak Liora dengan nada tinggi lalu ia pergi meninggalkan Bara sendiri.

Bara menghentikan aktivitasnya sejenak sambil memikirkan apa yang ibunya bilang.

"Benar juga apa yang ibu bilang. Semenjak bu Ratna pergi, sppku gak ada yang ngurusin sampe sekarang udah nunggak banyak. Bentar lagi ujian dan jika tidak lunas tuh spp pasti gak bisa ikut," gumam Bara dalam batin.

"Aku putus sekolah aja sementara, nanti kalo udah ada uang cukup baru kembali ke sekolah," ucap Bara beranjak berdiri membawa bak berisi baju kotor.

Seharian Bara  sibuk mengurusi rumah lalu ia keluar membawa  ranselnya yang sudah ia siapkan kertas dan bulpen. Tulisan-tulisan ia kemaren ia jadikan satu, di beri sampul dengan gambarannya sendiri jadilah buku ala Bara.

Sederhana banget tapi tebal, Bara membuat buku itu banyak lalu ia jual. Lumayan jika di titipkan ke toko ia akan mudah mendapatkan uang.

Namun semuanya tak sesuai harapan dari beberapa toko yang Bara kunjungi semuanya pada protes kurang rapi dan tidak akan laku. Belum di coba tapi pemilik toko itu sudah menilainya jadi mau tak mau Bara harus berkeliling menjual bukunya.

"Buku ... buku! Bukunya mbak, dek, bisa di lihat isinya kalo tertarik bisa beli," teriak Bara membawa buku di kedua tangannya.

Mbak-mbak yang tak sengaja lewat mengerumuni Bara dan mengitip bagian awal bukunya Bara. Mbak itu tertarik dan mau membeli buku karena Bara juga tak memasang harga tinggi.

Pagi menjadi sore, Bara pulang membawa uang banyak karena buku-bukunya terjual ludes. Ia mengayun-ayunkan kakinya tampak bahagia dan tak akan kena marah lagi.

Sampai di rumah, ia sudah di cegat Liora di depan teras sambil duduk di kursi.

"Heh pembawa sial! Mana hasil kerja kamu hari ini? Saya gak mau dengar kalau kamu gak bawa uang ya," pinta Liora kasar.

"I--ini bu," ucap Bara terbata-bata mengeluarkan uang dari sakunya hendak di hitung tapi belum sempat terhitung, Liora langsung merebut dari tangan Bara dengan kasar.

"Dapet uang sebanyak ini darimana? Jangan bilang kamu nyuri dari warung yang ada di pasar, ibu gak mau di malu-maluin lagi sama kamu. Jadi bahan olokan pembawa sial aja kamu udah jelek apalagi nyuri," tegur Liora berteriak lantang.

"Tidak bu, aku tadi iseng buat buku ala kadarnya dan aku jual. Eh ternyata banyak yang suka jadi alhamdulillah dapet banyak uangnya," sahut Bara menceritakan singkat.

"Pinter juga kamu, dah sana beresin rumah. Udah berantakan lagi tuh,kalo selesai jangan langsung tidur. Rapiin tanaman kesanyangan ibu ya! Pergi sana kamu," usir Liora sambil mengibaskan ung yang Bara kasihkan.

Bara tersenyum sambil bergidik pelan, udah di senengin masih aja nyuruh-nyuruh Bara kayak pembantu. Bara yang sudah terbiasa langsung saja mengerjakan semuanya dengan mudah dan terakhir ia merapikan tanaman agak santai sambil menikmati senja.

"Woy pembawa sial! Jangan terlalu nyantai utu rapiin tanamannnya. Kami lapar nih, abis itu segera buat makanan ya!" Teriak Liora memelototi Bara.

Bara  menghela nafas kasar, kapan ia bisa beristirahat dengan tenang. Ia harus bekerja dan membereskan rumah sendirian. Seakan Bara itu mesin serba guna yang bisa di gunakan seenaknya, tapi Bara tak pernah mengeluh sedikitpun ia malah senang bila di suruh, itu aryinya dia masih berguna daripada dianiaya.

Makanan jadi, Bara membawanya ke ruang tamu hendak di hidangkan, saat mau menghidangkan Bara terpeleset oleh kulit pisang yang Liora buang sembarangan membuat makanan di tangan Bara jatuh semua. Liora yang mengetahui itu geram, ia langsung mengambil sapu ijuk di luar.

"Tok ... tok," suara punggung Bara terpukul oleh gagang sapu yang di pegang Liora.

"Kan aku udah berkali-kali bilang kalo bawa sesuatu harus waspada jangan samapi jatuh, kalau jatuh kayak gitu kita rugi! Dasar gak guna kamu ya. Hari ini kamu tudur sana di luar tapi jagan di teras maupun di taman," tegur Liora menyeret Bara keluar dari gerbang rumahnya hingga dengkul Bara kembali terkeba kerikil yang melukai kakinya kembali.

Kamu tidur aja disini, pas banget hujan jadi mampus kamu ksdinginan,

"Jangan coba-coba kamu bilang ke warga kalo ibu nyeret kamu ke sini. Bialng aja kalo kamu ingin disini ngerti!" Bentak Liora menjatuhkan Bara dari tangannya lalu ia berlari masuk ke rumah.

Bara melempar kerikil yang melukai telapak tangannya sambil mengeluarkan air mata, mengapa ia harus lahir dari rahim orang tak punya hati.

                Bersambung

Bara [END] OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang