Jungkir balik caraku untuk hidup, di benakku masih ada impian redup.
_Bara_Jam lima pagi, Bara masih nyenyak dengan tidurnya yang di penuhi kotoran di sekeliling. Liora yang sudah bangun, ia langsung membuka pintu gudang kasar dan menyiram muka Bara dengan segayung air.
"Byurr!" Suara Air di lempar ke muka Bara.
Bara kaget dan langsung duduk sambil meraup air di mukanya.
"Dasar pemalas! Ini sudah pagi dan kerjaan rumah masih menumpuk, cepat kerjakan!" Gertak Liora menatap Bara tajam.
"Iya bu," jawab Bara lirih beranjak berdiri dan meninggalkan ibunya yang masih dalam gudang.
Bara mengerjakan semua kerjaan rumah dengan rajin dan telaten, usai itu ia sarapan dengan masakan sebisanya lalu berangkat sekolah dengan berjalan kaki.
Tidak seperti anak sekolah biasa, Bara selalu menggunakan hoddie hitam dan masker putih bersih, ia menampakkan sedikit poninya lalu berjalan menunduk.
Bara berlari supaya tidak membuang banyak waktu, sampai di sekolah Bara langsung menuju ke dalam kelas.
Dikelas, Bara hanya menunduk di bangkunya sambil mencoret buku yang tadinya kosong.
"Bar, mau ikut? Tim kami mau basket nih dan kurang satu orang," tanya Dhani teman sekelas.
"Oke," jawab Bara beranjak mengganti bajunya menjadi baju olahraga.
Memakai baju olahraga, Bara menggunakan topi hitam pekat tanpa melepas maskernya.
Mulai memasuki lapangan bersama Dhani, Bara mulai menandangi lawan yang mendrible bola ke arahnya. Bara benteng terakhir jadi bila lolos maka lawan itu bisa mengalahkan tim Bara.
Lawan itu lolos dari tandangan Bara dan dapat mencetak gol di ring tim Bara, melihat itu teman Bara lainnya memandang Bara penuh emosi.
"Bara! Lu keluar dari tim gue, buat sial aja," ucap Dhani menelunjukkan tangannya ke arah belakang.
"Maaf," ucap Bara perlahan pergi meninggalkan lapangan dan di ganti yang lain.
Bara berganti seragamnya tadi lalu kembali duduk di bangkunya sambil mencoret-coret bukunya.
Saat istirahat, Bara duduk di atas tembok yang ada di depan kelasnya yang tak terlalu tinggi, sambil duduk Bara biasa mendengarkan musik dengan earphone.
Para siswa yang melihat tingkah laku Bara bergidik pelan dan mencibiri hingga ada yang menjulukinya cowo aneh namun beda dengan satu gadis tetangga kelas yang bernama Cahaya.
Cahaya melihat sikap Bara seperti itu menjadi penasaran dan ingin tau lebih jauh tentang Bara dengan cara mengikuti Bara ketika di sekolah.
Cahaya saat itu sedang berpura-pura membaca buku di kursi taman dan sesekali mengintip dari Bara.
"Pokoknya cowo itu gak boleh lepas dari inceran gue," bisik Cahaya menutup bukunya saat tau Bara pergi.
Pulang sekolah, Bara tidak langsung pulang kerumah tapi langsung pergi ke kios Pak Amin untuk bekerja.
Di kios dari siang sampai sore tidak ada pembeli sama sekali padahal sebelum Bara kerja di situ, kios Pak Amin ramai pembeli jadi Pak Amin yang semulanya baik pada Bara menjadi buruk dan menganggap Bara sebagai pembawa sial lalu memecat Bara.
"Bara! Kamu itu memang pembawa sial, pengusir rezeki, saya kira dengan mempekerjakan kamu di sini maka kios saya menjadi ramai tapi ini malah sepi, sekarang kamu saya pecat tanpa pesangon," ucap Pak Amin dengan nada tinggi dan memaki-maki.
"Pak saya mohon jangan pecat saya dari pekerjaan ini, saya sangat butuh dan saya janji akan bekerja lebih baik lagi," sahut Bara berlutut di kaki Pak Amin.
"Tidak! Kamu ini sudah tidak ada gunanya," timpal Pak Amin mendorong Bara hingga terjatuh.
"Setidaknya beri aku pesangon pak, saya kan sudah bekerja kemaren," ucap Bara kembali berlutut.
Pak Amin menyebar uang recehan lima ratusan di depan Bara lalu meninggalkan Bara pergi.
Bara menelan ludah kasar, ia mulai mengambil uang recehan yang tersebar di jalan dengan mata berkaca-kaca.
"Tak pernah terbayang dulu untuk memperjuangkan uang receh. Sekarang aku harus hidup dari uang receh," gumam Bara dalam Batin.
Menjadi tukang angkut barang di pasar adalah pekerjaan pengganti Bara, Bara mengantarkan sampai ke rumah masing-masing dengan bayaran yang berbeda-beda.
Sore tiba, Bara pulang dengan membawa uang recehan di dalam saku celana dan kesiapan untuk di marahi ibunya.
Di rumah, Bara membuka pintu dan langsung duduk di sofa ruang tamu, Liora yang tau ada orang datang langsung saja ke ruang tamu dan marah ketika mendapati Bara sudah duduk di kursi.
"Bara! Masih sore udah pulang, mana uang hasil kerja hari ini?" Tegur Liora menengadahkan tangannya.
"Ini bu, Bara tadi di pecat dari pekerjaan Bara," jawab Bara memberi uang recehan dari sakunya.
Mendengar itu, Liora geram dan langsung menampar Bara kasar.
"Plak!" Suara pipi mulus Bara tertampar kasar oleh tangan ibunya.
Bara yang tak kuasa menahan air mata, menumpahkan air matanya perlahan diikuti senyuman yang terpancar di balik masker.
"Teruskan saja bu, bila ini wujud cintamu pada anakmu," ucap Bara melepas maskernya dan tersenyum.
Liora menarik baju Bara dan ia tempelkan Bara ke tembok dengan tatapan penuh emosi dan kemarahan.
"Ingat dan camkan dalam hidupmu ya anak tidak berguna!, saya tidak pernah mencintaimu dan kamu bukan anakku!" Ucap Liora jelas dan lantang.
"Terserah ibu mau bilang apa, melahirkanku saja itu sudah terbukti ibu mencintaiku dan semua perlakuanmu pun wujud sayang yang tak bisa di jelaskan bukan?" Ucap Bara yang membuat Liora tambah geram sambil tersenyum.
"Bara! Ibu gak mau tau apa kerjamu, asalkan besok kamu pulang bisa membawa uang lebih banyak dari ini," sahut Liora beranjak pergi.
Bara menunduk lemas dan beranjak ke gudang lalu membereskannya, setelah beres dan semua bersih. Bara duduk di balik jendela dan mulai meluncurkan air mata sederas-derasnya tanpa suara, namun senyumnya tetap terpancar lebar.
"Bu Ratna, aku bahagia disini bisa berkumpul lengkap dengan orang tuaku! Tapi apa salah bila aku ingin ikut ke alammu saja? Tidak ada gunanya aku di dunia," ucap Bara menaikkan alisnya sebelah di basahi air mata.
"Jangan ngomong seperti itu bang, lalu nanti pahlawan Dina siapa?" Ucap Dina memeluk Bara hangat.
"Kan ada ayah yang menjadi pahlawan Dina, ada ibu yang menjadi malaikat baik hati untuk Dina," ucap Bara mencolek hidung mungil Dina.
"Pahlawan Dina adalah abang bukan ayah, abang kira cuma abang yang di begitukan? Dina juga bang, Dina berangkat sekolah dengan jalan kaki dan selalu ngamen untuk bayar spp, itu terjadi sebelum bu Ratna wafat," jelas Dina menyenderkan kepalanya ke dada Bara manja.
"Kenapa kamu gak mau cerita sama abang? Abang bisa bantu kamu bahkan bisa memanjakan kamu," tanya Bara membelai kepala Dina.
"Karena melihat tingkah abang di rumah saja sudah termasuk pahlawan yang memperjuangkan hidup," jawab Dina tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bara [END] OPEN PO
Teen FictionBara Adi Cahyana seorang cowo pendiam namun misterius ini selalu membuat temannya merasa aneh padanya, ada yang menganggapnya pembawa sial sebab bila bertemunya akan terkena sial itu hal yang lumrah. Dia pendiam dan selalu berkeliaran ketika malam...