Part 16. Kasih sayang

92 10 0
                                    

"Yang bernama kasih sayang lebih berharga daripada sebongkah uang,"

_Bara_

Mengayuh sepeda menyusuri luasnya jalan raya sambil menahan pancaran matahari yang panas, Bara mengantar penumpang ke rumahnya. Ia sesekali mengusap keringat yang hampir meluncuri dahinya.

Usai itu, Bara menyiram wajahnya dengan sebotol air yang baru saja ia beli. Ia tak mau terlihat letih dan lelah karena baru sebentar bekerja.

Saat menyingsingkan poninya yang basah, ia tak sengaja melihat seorang anak berumur sepuluh tahun sedang di belai rambutnya oleh ibunya. Ibunya mencium pipi dan kening anak itu dengan tulus.

"Ibu," umpat Bara menitikkan air mata di sudut matanya.

Perlahan mulai mengusap air mata ia terus memperhatikan ibu dan anaknya itu yang mulai berlalu, teringat dahulu ia selalu di perhatikan oleh almh. Ratna. Sekuat-kuatnya Bara, ia juga punya hati yang dahulunya di manja.

Usai terlena, Bara kembali bekerja mengantarkan pelanggan yang datang silih berganti. Hal itu membuat Bara senang sebab ia tak akan membawa uang recehan lagi ketika pulang.

Kembali istirahat, Cahaya yang sudah berputar mencari Bara hingga tuju keliling akhirnya ia mememukan Bara yang sedang duduk di sebuah pangkalan ojek sepeda yang ada do tepi jalan.

"Hay Bara, aku cariin dari tadi sampe muter-muter ternyata ada disini kamu," ucap Cahaya duduk di samping Bara.

"Kenapa nyariin aku?" Tanya Bara dingin tanpa menghiraukan Cahaya di sampingnya.

"Eh hmm, ya gak papa sih cuma mau ketemu kamu aja," jawab Cahaya kebingungan dan sedikit salah tingkah.

"Gak sekolah?" Sahut Bara mulai bisa mengakrabi Cahaya dengan kedinginannya.

"Ciee perhatian juga nih cuhuy, aduh jantung aku jadi mau copot Bang," gumam Cahaya dalam batin.

"Hey!" Tegur Bara karena pertanyaanya belum di jawab.

"Eh anu, hari ini pulang cepet. Gurunya ada rapat," gelagap Cahaya menjawab sekenanya.

Bara mengangguk pelan sambil mendongak ke Cahaya sekilas lalu kembali pandangan ke depan melihat calon penumpang yang datang menghampiri Bara dan Cahaya.

Sore hari, Bara tidak seperti biasanya pulang ke rumah. Ia menetap di pangkalan mencari penumpang, namun berjalan satu jam Bara telat pulang. Liora datang dari kejauhan membawa kayu besar di salah satu tangannya dengan amarah menggumpal.

"Bara! Dasar anak nakal kamu ya. Udah jadi beban dan sekarang pulang telat lagi! Ini apa ini? Sepeda curian ya!" Omel Liora menghampiri Bara yang berdiri sambil menunduk.

"Ma--maaf bu eh bu nyonya maksudnya, Bara mau cari uang tambahan agar bisa di tabung," jawab Bara gugup.

"Belagak pake nabung segala, kerja aja gak becus! Udah sana pulang atau ibu pukul," ancam Liora mengangkat kayu di tangannya sambil menendang sepeda Bara yang semulanya terpakir rapi.

"Gubrakk!" Suara sepeda Bara terjatuh di tanah menyebabkan beberapa bagian rusak.

Bara yang melihat itu langsung saja menghampiri sepedanya, ia membangunkan sepeda itu lalu mengecek bagian mana saja yang rusak akibat benturan keras saat terjatuh tadi.

"Bug!" Suara punggung Bara terpukul oleh kayu yang di bawa Liora.

Sengaja Liora pukul sebab Bara tidak mau menuruti perintahnya untuk segeta pulang ke rumah.

"Aww, sakit bu," rintih Bara.

"Sekali lagi kamu panggil aku ibu, aku pukul kamu! Camkan. Aku bukan ibumu dan kamu harus panggil aku nyonya, faham! Ini terakhir kalinya aku mengulangi kata-kataku," gertak Liora menudingkan kayu di tangannya.

"Iya nya," jawab Bara yang mulai terlatih.

"Bagus! Sekarang sana pulang, kerjaan rumah numpuk lagi tuh gak ada yang beresin," suruh Liora sambil beranjak pergi pulang mendahului Bara.

Bara yang terdiam sedari tadi hanya bisa pasrah melihat sepeea barunya rusak, ia beranjak berdiri menuntun sepedanya membuntuti Liora yang sudah cukup jauh.

Sampai di rumah, Liora membanting Bara di atas kasur sambil melemparinya cucian kotor yang cukup banyak jumlahnya. Mungkin Liora dan Dina ganti pakaian sampai lima kali jadi sekejap saja menumpuk.

"Kamu bisa lihat sendiri kan cucian kotor segunung? Bisa-bisanya kamu pulang cepat. Sekarang aku mau bersihin semua lalu bereskan rumah, selepas magrib semua harus beres!" Tegur Liora pada Bara dengan kasar.

"Baik nyonya," jawab Bara beranjak duduk.

Ia memunguti baju kotor yang di lemparkan padanya, ia taruh dalam wadah panjang dan di bawa ke belakang untuk di cuci.

Dina yang selalu mengawasi dari dalam kamar hanya bisa menghembuskan napas kasar. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela abangnya, lagian Dina sudah mendapat cap buruk di mata abangnya sebab kala itu ia telay kasar dan angkuh persis ibunya.

"Bang, maafin Dina ya. Dina harap abang selalu bahagia dengan cara apapun, jika saja kasih sayang bisa di tukar dengan uang maka Dina akan bekerja untuk bebasin abang,"gumam Dina membuka sedikit gorden jendelanya.

Dina membalikkan badannya meraih lilin yang ia pajang di atas lemari kecil, seperti kebiasaan Bara. Ia menyalakan lilin itu satu persatu supaya merasakan selalu di samping Almh. Ratna.

Liora membuka kamar Dina pelan melihat apa yang di lakukan Dina, ia bergidik setelah tau bahwa Dina sedang melakukan sesuatu yang Bara lakukan setiap hari.

"Dina!"tegur Liora membuat Dina langsung membalikkan badannya.

"Iya bu?" Gelagap Dina sekenanya.

"Kamu lagi apa itu?" Gertak Liora membuat Dina deg-degan.

"A--anu, lagi apa ya. Ini lagi nyalain lilin bu sebab lampu kamar mati," ucap Dian terbata-bata kebingungan.

"Coba ibu lihat, sampai kamu berbohong awas kamu!" Ancam Liora beranjak ke sakelar untuk mengecek.

Tiba-tiba Dina yang semakin panik langsung mengejar ibunya yang belum jauh. Ia menarik daster Liora dari belakang membuat Liora menghentikan langkahnya.

"I--ibu, bang Bara pecahin piring! Sana gih lihat dulu," suruh Dina membuat Liora membelalakan mata dan langsung pergi hendak menghampiri Bara.

Sementara itu Bara sedang mengepel lantai usai menjemur pakaian, ia mengerjakan penuh hati-hati dan merata. Liora yang sedang di kadalin oleh Dina mengecek dapur yang sudah rapi dan bersih.

"Mana, katanya anak nakal itu pecahin piring tapi tu anak gak ada malah piringnya rapi bukannya pecah," gumam Liora sambil menaruh kedua tanganny di pinggang.

Liora menghembuskan napas kasar lalu kembali ke kamar Dina yang sudah terang. Dina tertidur pulas di atas kasur sedangkan Liora menjado jengkel pada ulah anak bungsunya itu.

"Dasar anak nakal! Bisa-bisanya dia ngadalin aku. Awas ya besok kalo bangun siang bakal aku siram pake air panas," umpat Liora lalu mencari Bara yang kini merapikan ruang tamu.

Sebentar lagi magrib, Bara telah usai mengerjakan pekerjaamnya llu erbring dilantai dekat kasurnya. Ia tak sempat memposisikan badan di kasur saking capenya.

Bersambung

Bara [END] OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang