Part 15. pembantu

99 11 0
                                    

"Ikan di laut menangis haru, melihat ibu jadikan anak sebagai pembantu,"

_Bara_

Pagi ini Bara ketiduran di atas sofa selepas mengepel lantai, Liora yang baru saja bangun tidur langsung menarik tangan Bara kasar hingga Bara terkulai di lantai. Belum juga bangun, Liora menuangkan air di ember ke tubuh Bara.

"Ampun bu,dingin!" umpat Bara langsung duduk.

"Kebiasaan ya kamu selalu aja males-malesan, dan satu lagi jangan panggil saya ibu. Saya jijik dengarnya! Mulai sekarang dan seterusnya panggil saya nyonya, paham!" Bentak Liora memukulkan gayung di tangannya pada kepala Bara.

"Tapi kenapa bu? Ibu itu ibu aku, kenapa aku tidak boleh memanggilmu dengan sebutan ibu? Kenapa harus nyonya? Aku bukan pembantu bu," ucap Bara berlutut di kaki liora.

"Kamu itu pembantu disini! Kamu gak pantese milikin rumah ini, jadi pembantu atau kamu bukan lagi dari keluarga ini ha?" Ancam Liora memelototi Bara.

"I--iya bu, Bara mau jadi pembantu," ucap Bara gugup.

Liora melempar Bara dari kakinya lalu pergi begitu saja, sementara itu. Bara menyelesaikan pekerjaannya dengan sigap dan cekatan.

Usai itu, Bara berjalan menyusuri jalanan menengok ke sekeliling siapa tau dia bisa cari peluang pekerjaan. Ia melihat ojek sepeda yang sedang mengantar penumpangnya, dari situ Bara terbesit ide untuk mengikuti jejak orang itu namun uang darimana untuk membeli sepeda.

"Aku harus bagaimana, kalau pulang lagi pasti ibu akan marah," gumam Bara bingung.

"Pinjam aja uangku," sahut Cahaya yang ternyata mengikuti Bara dari belakang.

"Nggak," jawab Bara cepat.

"Kamu itu kenapa sih? Diajak berteman gak mau. Ditolong juga gak mau, semua niat aku baik lo Bar. Kenapa kamu sikapi seperti ini sih?" Tanya Cahaya kesal.

"Karena aku gak mau kamu malu punya teman kayak aku, yang jelas aku ini nyusahin dan malu-maluin," sahut Bara lantang.

Cahaya terpaku mendengar apa yang baru saja Bara katakan, selain merdu suaranya. Ia juga juga bijak dan suka berpikir panjang namun Cahaya cepat berubah, ia tak mau terlihat cangguh di depan Bara.

"Aku gak akan malu kok punya teman kayak kamu dan memurut aku, kamu itu hebat gak nyusahin orang tua," jawab Cahaya sambil tersenyum tipis.

"Itu mulutmu beda lagi dengan hatimu," timpal Bara langsung pergi begitu saja meninggalkan Cahaya.

Bara terus berjalan tanpa arah hingga dia ingat bahwa Almh. Ratna pernah memberikan kalung padanya sebelum meninggal, kalung itu juga ia bawa kemana-mana hingga Bara sendiri lupa.

Ia merogoh saku hoddie kesayangannya itu, ia menemukan kalung berliontin gambar ibunya sedang tersenyum. Perlahan air mata Bara turun melihat gambar Almh. Ratna dalam liontin.

"Maafkan Bara bu, Bara harus menjual ibu untuk bertahan hidup," ucap Bara memeluk kalung itu.

Bara menjual kalung itu dab langsung membeli sepeda tua incarannya, tanpa membawa pulang. Ia langsung pakai sepeda itu untuk mengojek selama seharian.

"Ojek bu?" Sapa Bara ramah dengan senyum di balik masker.

"Boleh dek," jawab ibu-ibu itu naik ke jok belakang sepeda Bara.

Bara mengayuh sepeda pelan sambil melihat sekeliling, ia sangat menikmati pemandangan sekitar sambil mengantarkan seorang ibu-ibu ke rumahnya. Di pangkalan, Bara mengusap dahinya sambil meneguk air putih yang ia beli tadi.

"Kamu pasti anak baru ya!" Bentak salah seorang bapak-bapak yang baru saja balik dari mengojek.

"Iya pak," jawab Bara menelan ludah kasar.

"Kamu lebih baik cari pangkalan lain dah, daripada nanti saya bakal fitnah kamu disini! Kamu itu sudah halangin rezeki saya," bentak bapak itu mengusir Bara.

"Loh tapi salah saya apa pak?" elak Bara pada Bapak itu.

"Salah kamu telah menghalangi rezeki saya, sana pergi!" Sahut bapak itu mendorong Bara hingga terjatuh.

Bara pelan-pelan berdiri meraih sepedanya lalu mengayuhnya menjauh dari Bapak-bapak itu. Ia pergi entah kemana, intinya dia pergi dari Bapak-bapak itu.

Ia sekilas melihat taman yang biasa ia duduki usai kerja dari bangunan dulu. Ia memarkirkan sepedanya lalu duduk di taman itu sambil merenung melihat orang-orang yang berlalu lalang.

Ketika sore, Bara pulang membawa uang recehan di sakunya. Pindah lapak membuat pendapatannya berkurang namun harus bagaimana lagi, ia tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan nurut.

Sampai di rumah, ia duduk lemas di atas sofa melepas topi yang ia kenakan dan meletakkannya di atas meja. Liora yang baru saja dari belakang rumah melihat Bara sudah pulang langsung saja menghampirinya.

"Bara! Kenapa jam segini udah pulang? Atau jangan-jangan kamu gak kerja ya. Mana sini hasil kerja kamu," pinta Liora dengan nada tinggi sambil menengadahkan tangannya.

Bara mengeluarkan uang recehan dari sakunya, ia menyodorkan uang itu pada tengadahan tangan Liora. Seketika Liora membuang uang yang Bara taruh di atas tangannya sambil berdiri.

"Selalu aja begini! Sini kamu. Bakalan ibu hukum kamu ya," bentak Liora menarik tangan Bara kasar menuju belakang rumah yang semulanya taman menjadi ladang.

Liora melempar Bara ke tanah dengan kejam. Lalu ia mengangkat dagu Bara untuk menatap wajahnya yang sudah memerah di penuhi amarah, ia lemparkan Bara hingga membentur pohon pisang dan tersungkur di bawah pohon pisang tersebut, lalu ia membanting pintu belakang.

Bara yang tak berdaya hanya bisa meneteskan air mata, seakan memelihara hantu bernyawa di rumah membuat tubuhnya seperti tak bertulang.

"Ibu," umpat Bara sekuat tenaga dengan terus meluncurkan air mata.

"Bara bukan anak yang cengeng, Bara itu anak yang kuat jadi jangan gampang menangis ya sayang. Air matamu berharga," tutur Almh. Ratna sebelum meninggal.

Mengingat itu tambah deras Bara menangis, ia sudah tidak memiliki pahlawan yang bisa di andalkan lagi hanya bisa mengingat tutur katanya yang bijak.

Tidak mau berlarut dalam kesedihan, Bara langsung mencari sesuatu untuk alas tidurnya malam ini. Ia mengedarkan pandangannya sampai ia menangkap karung bekas di dekat pohon cabe.

Ia mengambil karung itu dan menggelarnya di bawah pohon mangga, melipat kakinya ke atas sambil lengannya saling bertautan Bara tidur di selimuti kedinginan.

Dina yang saat itu belum tidur, mengintip Bara dari jendela kamarnya . Terpampang jelas Bara sedang meringkuk kedinginan di bawaj pohon mangga.

"Kasian abang, kalau saja aku bisa keluar dari kamar ini. Mungkin aku akan gantiin abang atau bawain abang selimut biar gak kedinginan kayak gitu, ya ampun jadi gak tega liatnya," gumam Dina mencemberutkan bibir tipisnya.

"Dina!" Sahut Liora dengan nada tinggi.

"Eh, i--iya bu," jawab Dina gugup membalikkan badannya.

"Tidur, udah malam!" Suruh Liora.

Dina langsung berbaring di atas kasurnya sambil memakai selimut walaupun pikirannya tetap tertuju pada abangnya.

Bersambung

Bara [END] OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang