Part 7. sengsara

128 15 0
                                    

"Apa fungsiku jadi manusia hanya untuk di sia-siakan orang mati rasa?"

                  -Bara-

Dia termangu di teras kelas, Bara tampak memikirkan sesuatu yang berat. Ia belum makan dari kemaren sebab gak berani pulang, yanh ia pakai hanya seragam yang ia bawa di ranselnya.

Bara mulai berdecak pelan membayangkan almh. Ratna dua bulan lalu yang masih bersamanya di rumah itu, kala itu Bara sedang menangis usai curhat tentang ibunya pada almh. Ratna, saat itulah mula-mula siksaan menimpa Bara dari hal kecil.

"Hey apa ini? Lelaki yang gagah dan tampan menangis? Selemah ini kah anak ibu?" Tegur Ratna memegang kedua lengan Bara dan perlahan mengusap air mata Bara dengan kedua tangan mulusnya.

"Ibu, apa satu kesalahan Bara saat kecil dulu tidak bisa di lupakan? Apa setelah itu Bara harus membayar semuanya?" Tanya Bara menyenderkan kepala ke pelukan Ratna.

"Bisa nak, ibu saja sudah lupa dengan apa yang kau lakukan kala itu. Dan mungkin maksud ayah sama ibumu memperlakukanmu beda dengan Dina itu karena kamu sudah dewasa jadi harus mengalah nak," tutur Ratna membelai rambut Bara.

"Kenapa ibu kandung Bara tidak seperti ibu tiri Bara? Kenapa sifat ibu tiri tercermin pada ibu kandung Bara? Apa Bara di larang bahagia?" Tanya Bara sangat ingin tau.

"Nak, jangan bertingkah seperti anak kecil. Semua orang tua sayang pada anaknya hanya saja cara menyampaikan beda-beda," tutur Ratna memandang wajah Bara sayu.

"Lalu jika ibu dan ayah sayang Bara kenapa waktu itu Bara di buang? Bara yang nakal atau mereka yang tak punya hati?" Ucap Bara yang seketika membuat Ratna terdiam sejenak.

Yang Bara katakan benar semua, ia bingung harus mengelak bagaimana lagi. Dasarnya mereka berdua memang tak memiliki nurani, lagi pula Bara telah dewasa. Namun Ratna tak mau membuat Bara benci sama ayah ibunya.

Bara menitikkan air mata di sudut matanya mengulang kembali apa yang telah berlalu di hidupnya, ia sudah menyangka itu semua tapi mengapa almh.Ratna tetap saja menutupi kebusukan orang tuanya?

"Bu, benar apa yang semua Bara katakan dahulu. Bara harus membayar semuanya dan mereka menang tak memiliki hati," ucap Bara mengusap air matanya.

Bara beranjak turun dari atas tembok, ia berlari menuju arah gerbang sekolah yang tertutup rapat di jaga pak satpam sampingnya. Ia memutar otak sejenak supaya lolos dari terkaman pak satpam, ia menghela nafas pelan lalu berlari sekencangnya dan langsung memanjat pagar tanpa permisi pada pak satpam.

Bara lolos dan terus berlari entah kemana arahnya. Sampai di tempat tujuan, Bara langsung menekuk lututnya lemah. Ia membuka masker lalu menderaskan air mata memeluk nisan yang bertuliskan RATNA AJMAYANTI BINTI SHALIH dengan erat.

Hati Bara terluka parah, di rumah gak ada yang bisa menjadi tempat curhat untuk dirinya selain almh. Ratna. Baginya almh. Ratna adalah orang terbaik yang pernah ia temui.

"Jika aku tau aku tidak di izinkan bahagia, diriku hanya disia-siakan. Lebih baik aku yang memggantikan ibu menyangga penyakit jantung supaya sekali tepuk aku bisa di jemput Tuhan," ucap Bara terisak-isak

"Bara cape dengan hidup Bara yang sekarang, segalanya penuh tuntutan dan hukuman. Luka di sekujur badan bukanlah beban bagi ibu yang sering menyiksa Bara, apa dia masih layak di panggil ibu oleh Bara? Ibu mana lagi yang harus Bara cari untuk gantikan posisi ibu," jelas Bara mencurahkan isi hatinya.

"Ah sudahlah, Bara baik-baik saja demi ibu Ratna yang tercinta," tambah Bara mengusap air mata yang terus menerus turun dari pipinya.

"Bangun bu, bangun untuk sebentar saja. Coba peluk aku yang tak memiliki daya apa-apa tanpa kamu," teriak Bara memukul-mukul makam ibunya.

Selesai dari situ, Bara berjalan ke arah pasar untuk mencari pekerjaan yang tetap. Menjadi tukang parkir gajinya gak seberapa malah sekarang sepi namun mau gimana lagi tempat itu sudah tersewa jadi mau gak mau Bara harus ke tempat parkir.

Di luar dugaan, parkiran itu ramai sekali bahkan sampai kewalahan. Bara yang girang melihat itu langsung berlari dan langsung menata motor dengan rapi.

"Priitt ... priitt ... priit," suara peluit yanga Bara tiup untuk mengaba-aba salah seorang yang hendak pulang.

Bara tersenyum lebar membuka maskernya menampakkan senyum manisnya dengan cerah. Cahaya yang masih setia mengikuti Bara kemanapun Bara pergi tercengang kaget.

"MasyaAllah, duh mataku ternodai. Nah kan bener, babangnya ganteng pake buanget, gak sia-sia aku ikutin dia selama ini," gumam Cahaya tersenyum-senyum.

Siang berganti Sore, Bara pulang dengan membawa uang ratusan ribu di dalam sakunya sambil melangkah santai. Di rumah, Bara langsung membaringkan badannya di sofa.

Selalu saja Liora tau kalo Bara sudah pulang, Liora hendak mengepel kala itu namun tertunda sebab Bara sudah pulang.

"Udah berani pulang ya kamu, emang udah dapet uang buat beli ayam?" Tanya Liora melirik Bara sinis.

Bara mengambil uang dari sakunya lalu di sodorkan ke arah Liora yang menatapnya sengit dengan mata lentiknya.

"Lumayan lah, oke bisa buat beli ayam. Tapi jangan seneng dulu ya kamu! Kerjaan rumah numpuk-numpuk tuh, buruan di kerjain. Ibu mau belanja," tegur Liora beranjak berdiri membawa tas rajut, ia pergi keluar meninggalkan Bara sendiri ke rumah.

Bara menghela nafas kasar mulai menjalankan apa yang Liora perintahkan, Dina yang mengintip dari pintu kamarnya langsung keluar menghampiri Bara sambil menggendong Boneka.

"Abang!" Teriak Dina merangkul Bara hangat.

"Kamu kenapa sayang?" Tanya Bara manja melepas pelukan Dina.

"Abang semalam kemana aja? Dina khawatir banget sama abang. Dina takut terjadi apa-apa sama Abang," ucap Dina tersenyum kecut.

"Abang gak kemana-kemana kok, Abang tidur di rumah temen semalam," sahut Bara beralasan.

"Bener? Abang gak ngebohongin Dina?" Tanya Dina ragu.

"Cantik, sayangnya abang. Abang apa pernah bohong sama Dina?" Jawab Bara meyakinkan.

Dina menggelengkan kepalanya tersenyum sambil kembali memeluk Bara, Dina tau semua penderitaan abangnya tak ada yang terlewat bahkan kali ini abangnya bohong pun ia percaya. Ia hanya bisa membahagiakan abang dengan cara menyenangkan hatinya, sekalipun ia di bohongi seperti ini.

"Sekarang Dina belajar yang pinter biar nanti bisa jadi ke bangga'an abang. Dina pernah berjanjikan untuk menghadiahkan kesuksesan untuk abang kan?" Ucap Bara mengusap rambut Dina yang panjang.

"Dina janji akan jadi orang sukses untuk abang, selain sukses dinaa juga mau jadi orang yang kuat di tengah kesengsaraan seperti abang," sahut Dina mencolek hidung Bara dengan tangan mungilnya.

                     Bersambung

Bara [END] OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang