Tetesan air mata itu tak ada hentinya mengaliri pipi pucat remaja putra berusia 15 tahun, yang kini hanya bisa mengingat kejadian beberapa hari lalu. Hembusan napasnya naik-turun, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jemarinya memutih. Bibirnya terkatup rapat berusaha meredam tangis yang semakin menjadi—turun dengan lembut, lalu menganak sungai sebelum bermuara ke ujung dagunya—mana kala pernik ambernya memandang gundukan tanah basah yang dipenuhi taburan bunga.Sebuah makam baru dengan nisan putih bertuliskan tinta hitam yang begitu jelas, menyebutkan siapa nama jenazah yang terkubur di bawahnya.
DEANA REBECCA.
"Jaga Marcel baik-baik, Brian. Jangan benci dia, karena ini semua bukanlah kesalahannya. Kamu tentu tahu itu, bukan?"
Amanat sang ibunda terus mengusik rungunya setiap kali bayang-bayang mengerikan itu kembali menghantui Brian. Dalam keadaan separuh sadar, beliau mengatakan padanya untuk tak menyalahkan si bungsu atas yang telah terjadi pada ibu mereka. Tapi bagaimana bisa? semuanya terasa sulit!
Dengan mata telanjang Brian menyaksikan sang ibu tertabrak truk seusai mendorong Marcel yang asik memeluk Dory di tengah jalan. Tubuh ringkih sang bunda terpental, di hadiahi lindasan mobil Audi dari arah belakang tepat di sebelah kanan. Tubuh bagian bawahnya terkoyak, nyaris terbelah, jelas sekali terlihat organ dalamnya hendak keluar. Hingga ajal tiba dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Deras linangan air mata Brian—menganak sungai menelusuri pipi. Batinnya remuk, menyesali segala sesuatu yang terjadi. Mengandaikan hal-hal yang tak mungkin terulang lagi.
Andai saja Marcel tak mengejar Dory. Andai saja Marcel tak melangkah ke jalanan. Andai saja Marcel tak membawa si kucing ikut dengan mereka. Andai, andai, andai, semua hanya andai yang tak bisa memulihkan keadaan. Yang tak bisa mengembalikan ibunda ke dalam pelukan.
Tapi .... Bukankah yang andil besar dalam kecelakaan ini adalah Brian sendiri? Bukankah, Brian yang justru lalai menjalankan amanat ibu dan justru asik dengan dunianya sendiri?
Suara dalam benaknya bahkan terus menghakimi; mengatakan jika memang semua ini adalah karena dirinya sendiri.
'Ini semua 'kan memang salahmu, Brian! Jika saja kamu lebih memerhatikan Marcel dan bukan bermain game bodoh itu, mungkin Mamamu masih ada di dunia ini'
Brian kian tergugu dengan wajah merunduk, ditutupi kedua telapak tangan kala suara-suara dalam benaknya itu kembali meneriakinya. Menunjukan kenyataan yang sesungguhnya padanya.
"B-Byan ...." Brian terkesiap mendengar decitan pintu terbuka bersamaan dengan namanya disebut, sosok Marcel berjalan mendekatinya. Enggan menyapa, Brian justru menilik tetesan hujan dari celah jendela. Hatinya kian ngilu mendengar Marcel kembali mencicit, menyebut namanya. "By-Byan ...."
Marcel yang tak memahami keadaan yang sebenarnya berusaha menghapus jejak-jejak air mata yang masih mengalir di kedua belah pipi Brian. Namun, sayang, belum sampai tangannya menyentuh pipi, Brian justru mendorong Marcel hingga jatuh terjengkang ke lantai.
Bunyi aduan tubuh Marcel dengan lantai seketika terdengar jelas. Raut penuh keterkejutan pun nampak jelas di wajah Marcel. Pernik gelap bulatnya menatap nanar sarat ketakutan ke wajah Brian, yang justru malah sebaliknya—Brian menatapnya nyalang dengan netra berkilat tajam penuh amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Brother [END]
FanfictionSEGERA TERBIT Bagi Brian Canavaro Warren, Leander Marcelino adalah saudara paling sempurna yang Tuhan berikan untuknya meski mereka tak dilahirkan dari rahim yang sama. Achel panggilannya, penderita autism spectrum disorder (ASD) yang dianggap sebag...