11; Dikutuk Rasa Bersalah

745 76 1
                                    

Brian melangkah gontai, mendorong pelan pintu kamar lantas masuk ke dalamnya, di akhiri menutup pintu susah payah menggunakan punggung, ia jatuh merosot-bersimpuh-ke lantai, tepat di depan ranjang yang mana ada Marcel yang tertidur dengan lelap di sana.

"Mama ...." Isak Brian memanggil nama mendiang ibundanya sembari menatap sebuah pigura kecil di atas nakas. "Maafin, Byan ... Byan gagal jagain Achel, Byan gagal." Ia terisak disela-sela ucapannya. "Maafin Byan," tangisnya pecah tak lagi dapat ditahan olehnya. Linangan air mata itu turun dengan begitu deras ke pipi lantaran merasa kecewa pada hatinya sendiri; ia gagal menjaga si adik seperti amanat mendiang ibunya.

Keadaan seperti itu berlanjut hingga beberapa saat; menangis, mengubur diri dalam rasa bersalah. Sampai ia merasa sanggup untuk berdiri, melangkah mendekati Marcel. Duduk di tepian ranjang, Brian mengusap lembut untaian surai Marcel.

Netranya menilai penampilan sang adik yang kini jauh lebih segar seusai ia mandikan beberapa jam yang lalu sebelum David pulang. Mengenakan stelan sweater berwarna biru muda dan celana bahan hitam, Marcel semakin tampil menawan.

Berbulan-bulan Brian tak melihatnya, kini wajah adik kecilnya itu nampak lebih dewasa. Semakin tampan dan juga manis secara bersamaan. Hidungnya terlihat kian runcing, bibir tipisnya yang ranum, alisnya yang tegas, dan kulit putih bersih karena nyaris tak pernah terkena sinar matahari-lantaran terus terkurung dalam kamar selama bertahun-tahun-walau di beberapa bagian ternodai dengan bekas-bekas pukulan; memar serta lebam membiru yang mulai berubah menjadi kekuning-kuningan, sama sekali tak mengurangi ketampanannya.

Marcel memang tidak sempurna secara mental-psikisnya, tapi siapa sangka ia punya yang lebih sempurna dari siapapun juga yang pernah Brian temui? Dan Brian bahkan berani mengakui jika wajah manis adiknya itu mengalahkan cantiknya remaja-remaja puteri yang dulu pernah mengejar-ngejarnya.

Alih-alih merasa bahagia karena si adik sudah tumbuh menjadi remaja berparas manis, Brian malah merasa sesak dengan dirinya sendiri. Isak tangisnya teredam, rasa bersalah dipendam dan ia hanya bisa bungkam.

"Maafkan aku." Adalah kalimat pertama yang diucapkannya sebelum suara tarikan napas panjang menyusul. Ia berusaha setenang mungkin.

"Achel."

Brian merunduk, mendekatkan bibirnya ke sisi wajah yang masih nampak terlelap dalam tidur. Tangannya terangkat, mengusap dengan perlahan-menyingkirkan-anak-anak rambut yang menutupi kening adiknya.

Tak ada reaksi sama sekali, namun Brian kembali mengulangi panggilannya, "Achel ... ini Byan, Byan udah pulang," bisiknya.

Marcel belum juga bangun, tapi Brian melihat jika alis tegas itu bergerak kecil; merespon suaranya. "Achel, ini Byan. Byan udah pulang." Lagi, dicobanya sekali lagi, namun kali ini dengan sedikit mengguncangkan bahunya. Dan sepertinya itu berhasil.

Perlahan kedua kelopak berbulu mata lentik itupun terbuka. Mengerjap beberapa kali dengan tatapan teduh nan sendunya. Pernik gelap sekelam malam tersebut nampak bergulir ke arah suara yang memanggilkan namanya, dan mendapati kehadiran sesosok pria muda berkulit putih pucat yang kini tersenyum lembut padanya.

"Hai, Achel. Kangen Byan gak?" sambut Brian. Bibirnya dipaksakan untuk tersenyum, meski sebenarnya rasanya amat sulit untuk dilakukan.

Namun Marcel justru beringsut bangun, merangkak ke sudut kamar, memojokkan dirinya ke dinding sembari memeluk lutut dan tubuhnya. Ia seolah berupaya membuat proteksi akan bahaya yang mengancam dirinya saat ini.

He's My Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang