Kian waktu, Deana dan David semakin jelas mendapati perbedaan yang kentara antara Marcel dengan anak lainnya.
Dari segi fisik, Marcel memiliki tumbuh kembang yang sempurna. Marcel jelas memiliki visual memikat; kulitnya putih bersih seperti susu, wajahnya manis dengan hidung yang bangir, pipinya bulat berisi—merona kemerahan—pun bibir ranum yang mungil diperlengkap dengan sepasang netra hitam—sekelam jelaga.
Tampilannya yang dapat dikatakan—begitu—sempurna itupun sempurna menutupi kekurangannya, sempurna menyembunyikan fakta bahwa ia seorang anak berkebutuhan khusus.
"Ananda ini adalah tipe autisme dengan kasus yang unik, Bu. Sebab kebanyakan penderita autisme akan bertingkah hyper active. Namun lain jika saya melihat, Ananda begitu pendiam dan tenang."
Penuturan sang dokter pada chek up rutinannya yang ke-20 adalah benar. Marcel cenderung penyendiri, tak banyak berinteraksi dengan orang lain, pun hanya akan bergerak jika ia menginginkannya. Selebihnya Marcel hanya akan duduk diam, menatap kosong ke arah jendela dan cuma mengeluarkan sepatah-dua patah kata. Itupun tidak jelas dalam pengucapannya ataupun apa maksud dari ucapannya.
Namun, Marchel juga memiliki tempramen yang cukup sulit dikendalikan apabila ia merasa terganggu, dan merasa bersalah. Acap kali, bocah ini menangis—meraung-raung—susah ditenangkan sesuai berbuat kesalahan seperti, tidak sengaja memecahkan gelas, akibat motoriknya yang kurang sempurna. Atau akan menjadi sangat marah, kemudian melukai diri sendiri seandainya merasa terganggu.
Sama—juga—seperti anak autis lainnya, Marcel juga kesulitan dalam berucap. Di usianya yang mulai menginjak tujuh tahunan pun ia hanya bisa mengucapkan beberapa kata saja seperti; Papa, Mama, Byan, Achel, mamam, bobo, tatut, mau dan beberapa kata lain yang kerap didengarnya sehari-hari. Pun, sering kali mengulang kata yang ia sukai, seperti Mama dan Brian. Hal ini, juga sangat—hampir—jarang terjadi.
Namun akan sedikit berbeda jika hari sudah menjelang malam, disaat sang ibu yang tak pernah absen untuk bersenandung menyanyikan lagu pengantar tidur, maka saat itupun Marcel sedikit banyak akan ikut menirukan suaranya. Bernyanyi walau dengan kata dan kalimat yang terputus-putus. Seperti saat ini saja, misalnya.
"Na-nanit ... titang ...."
"Ku pandang langit penuh bintang bertaburan. Berkelap kelip seumpama intan, berlian," nyanyi Deana dengan suara yang sungguh merdu lagi lembut sembari mengusap rambut si bungsu.
Berbeda dengan si adik yang fokus mendengarkan nyanyian ibunya dan sesekali mengikuti lirik nyanyian, si kakak, Brian malah terlihat asyik dengan game di gawai yang kini dimainkannya.
"Nampak sebuah lebih terang cahayanya, itulah bintangku, bintang kejora yang indah selalu."
"Mam, lagunya ganti dong, bosen dengerinnya itu terus tiap malem," gerutu Brian tiba-tiba.
"Kamu tuh, udah malem juga bukannya buru-buru tidur besok mau ada ulangan, malah mainan ponsel terus," alih-alih setuju dengan permintaan si sulung, sang ibu malah balik memarahinya.
Dan yang dimarahi malah tersenyum lebar, menunjukan geligi putih bersihnya sembari terkekeh dan memeluk adiknya yang tidur seranjang. "Ya 'kan Byan udah gede, Mam. Masa dengerin lagu anak-anak begitu terus," kelakarnya.
"Mama 'kan juga nyanyiin buat Achel, bukan buat kamu," balas ibunya. Usil, sembari memanyunkan bibir.
"Ih tega," dan si sulung menunjukan raut muramnya.
"Byan udah gosok gigi belum?" tanya Deana kemudian pada si sulung.
"Udah kok, Mam," jawab anaknya itu lalu menunjukan geliginya yang terlihat putih bersih.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Brother [END]
FanficSEGERA TERBIT Bagi Brian Canavaro Warren, Leander Marcelino adalah saudara paling sempurna yang Tuhan berikan untuknya meski mereka tak dilahirkan dari rahim yang sama. Achel panggilannya, penderita autism spectrum disorder (ASD) yang dianggap sebag...