Bukan hal yang mudah untuk mengembalikan Achel seperti dulu lagi. Keadaan anak itu justru jauh lebih buruk dari yang sebelumnya.
Brian kerap kali menemukannya melamun sendirian-walau sebelumnya Marcel memang pendiam dan tak banyak bicara-dengan tatapan kosong mengarah ke luar jendela. Ia juga kerap menangis sendiri tanpa sebab yang jelas. Atau terkejut kala namanya dipanggil.
Tapi dibanding itu semua, Brian lebih merasa sakit tatkala tahu jika Marcel kini justru mengalami trauma berat akan beberapa hal; gunting, tali, rantai, lilin, lem selotip, hingga kata main.
Ya, kata main.
Brian bingung kenapa Marcel mendadak menjerit kencang tatkala ia mengajaknya bermain keluar disaat sore hari. Adiknya itu tiba-tiba saja berlari lalu sembunyi di dalam lemari baju sembari menangis tersedu-sedu.
Si kakak yang kelimbungan sendiri itu awalnya mengira jika penyebab utama si adik menjerit adalah karena seekor kecoa, namun akhirnya ia sadar bahwa Marcel berlaku demikian karena trauma akan kata tersebut, sebab dari luar lemari Brian bisa mendengar tangisan itu disertai dengan kata-kata; jangan, tidak mau main, takut, meski tergagap dan tersendat tangisnya sendiri.
Pun sejak itulah Brian menjadikan kata main adalah kata terlarang dan disakralkan pengucapannya. Terlebih bila dilontarkan di depan Marcel.
Dan tanpa terasa sudah berlalu hampir sebulan lamanya sejak Brian kembali ke rumah, dan juga sudah hampir tiga minggu sejak David pergi entah kemana. Lelaki itu kabur begitu saja membawa mobilnya setelah sang anak mengetahui kelakuan tak manusiawinya terhadap anak angkatnya sendiri.
Tidak apa.
Toh, kepergiannya pun takkan membuat Brian menjadi takut atau merasa putus asa. Brian memang tak mengatakan juga jika ia bahagia dengan kaburnya sang ayah, namun lain daripada itu ia justru sedih lantaran orang tuanya yang selalu dibanggakan dulu kini malah berubah drastis menjadi sosok lain yang tak dikenalnya lagi.
Namun satu yang pasti, Brian tahu benar bahwa David masih belum bisa merelakan semuanya yang terjadi setelah Deana pergi.
"Achel ngapain?" tanya Brian tatkala tak sengaja menemukan Marcel yang asyik mengorek-ngorek tanah di bawah sebuah pohon besar, di belakang rumah.
Adiknya itu tak menjawab, tapi dari kejauhan ia bisa melihat jika ada tulang sisa ayam bekas sarapan tadi pagi di atas rerumputan.
"Achel?" panggilnya lagi sembari mendekat lalu berjongkok di sisi adiknya.
"Hng?" Hanya itu yang Marcel jadikan jawaban. Tangannya yang berjemari lentik itu masih sibuk mengorek tanah menggunakan sendok makan.
"Achel ngapain di sini? Kok banyak tulang ayam?" tanya Brian kemudian.
Lama Marcel diam tak lekas menjawab, tapi kemudian suaranya kembali terdengar mengatakan, "A-Achel ... Doyi ma-mamam.. m-ma-mau," katanya.
Ah, Brian sedikit terkejut mendengarnya. Marcel baru saja mengatakan jika ia hendak memberi makan Dory, kucing belangnya yang sudah lama mati dan dikuburkan di bawah pohon tersebut.
"Achel." Tangan itu mengusap lembut untaian helai surai Marcel sebelum kembali berucap, "Dory udah gak makan lagi," tambahnya.
"Hng?" Yang muda menoleh, memandang wajah si kakak dengan tatapan bingung.
"Dory udah gak makan lagi," ulang Brian.
"Ma-mamam ... mau eng-eng-enggak?" cicitnya, menanyakan jika si kucing tak lagi mau makan tulang pemberiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Brother [END]
FanfictionSEGERA TERBIT Bagi Brian Canavaro Warren, Leander Marcelino adalah saudara paling sempurna yang Tuhan berikan untuknya meski mereka tak dilahirkan dari rahim yang sama. Achel panggilannya, penderita autism spectrum disorder (ASD) yang dianggap sebag...