21; Dia Datang

863 67 7
                                    

Pagi itu langit cerah nampak sekali; awan putih berarak-arakan di langit biru yang kaya akan sinar matahari. Beberapa burung kecil bertengger di tiang listrik dan pohon-pohon besar, bersenandung ria dengan suaranya yang terdengar amat ceria.

Brian baru saja selesai menyetrika pakaian kerja dan juga seragam sekolah Marcel, mana kala manik ambernya menemukan si adik tengah asyik memukul-mukul lantai dapur dengan menggunakan sendok sayur dan bayaknya perangkat makan lain; sendok garpu serta sendok makan nampak tercecer di sekitarnya. Bunyi tok-tok-tok yang nyaring nyaris bisa didengar ke seantreo rumah.

"Achel? Achel kok duduk di dapur? Achel jangan di sini ya duduknya, takut nanti kena minyak," tutur si kakak sembari mengajaknya bangun berdiri.

"Hng?"

"Dapur tu tempat yang bahaya, banyak benda tajam yang bisa bikin Achel luka," tambah si kakak.

"Hng?" tapi Marcel tak mengerti.

"Achel duduknya di ruang tengah aja, ya?" pinta yang dewasa kemudian. Tapi alih-alih menurut, adik kecilnya itu justru melemparkan sendok sayur yang ia mainkan ke lantai, lantas setelahnya pergi begitu saja berlari keluar lewat pintu belakang.

"Hhhh ... dasar anak kecil," gumam Brian sembari membereskan apa yang tadi dimainkan si bungsu.

Beres berbenah dapur, Brian pun segera beranjak menuju teras belakang rumah mereka, dan nampak terkejut mana kala menemukan Marcel justru tengah sibuk mengorek-ngorek tanah dengan sendok makan seperti tempo hari.

Ia kemudian mendekat dan memerhatikan ke sekeliling si bungsu; mencari apakah ada tulang ayam yang dibawanya lagi atau tidak. Tapi ternyata kali ini yang ditemukannya adalah beberapa bungkus permen dan juga sisa remah-remah roti bekas makannya tadi pagi.

"Achel lagi ngapain?" tanyanya lembut sembari ikut duduk merumput di depannya. Tapi sayang yang ditanya nampak asyik sendiri tak peduli sedikitpun pada atensi sang kakak di sana. Ia masih terus mengorek-ngorek tanah dengan sendok juga tangannya.

"Achel? Kok Byan nanya gak dijawab? Achel lagi apa?" ulangi si sulung.

"Hng?" dan sepertinya berhasil, walau respon yang diberikan si bungsu hanya sekedar suara menggumam semata, seperti biasanya.

"Achel mau kasih makan Dory lagi, ya?" terka sang kakak dan adiknya itu hanya menjawab dengan suara yang sama seperti tadi.

"Hng?"

"Dory udah gak makan lagi, Chel," ingatkan yang dewasa pada si manis.

"A-Chel ma-mamam ..." sahut Marcel, entah makan apa yang dimaksudkannya, ia tak melanjutkan kalimat itu hingga selesai.

"Makan?" si kakak menunggu lanjutannya. Tapi betapa terkejut dan lucunya saat remaja itu justru mengucapkan beberapa jenis makanan dengan kata yang salah dan kalimat tergagap.

"Tap-tapateti ... ech-echim na kebi pet-peti ..." Achel mengatakan itu tanpa mengalihkan pandangan dari apa yang dimainkannya. Wajah polos nan lugu tersebut nampak seperti sebuah patung porselen, tersinari cahaya matahari yang membuatnya nampak indah sekali.

Namun, tiba-tiba saja. "Eeehhh ...." Brian menahan tangan mungil itu tatkala hendak memasukan sesendok tanah ke dalam mulutnya. "Gak boleh, Achel gak boleh makan tanah, nanti sakit perut," katanya.

"Hng?" tapi si adik tak mengerti. Manik bulatnya mengerjap beberapa kali dengan kepala dimiringkan sedikit tatkala menatap kakaknya.

"Gak boleh, itu kotor banyak kumannya. Nanti kalo Achel makan bisa sakit perut," tutur Brian lagi.

"Hng?" namun tetap saja sama, Marcel tak paham dengan kalimatnya.

"Hhhh..." Brian menghela napas panjang, mungkin memang percuma saja menerangkan apa itu kuman dan kotor pada adik kecilnya ini. Jadi dia bangun lalu masuk ke rumah untuk mengambil tisu basah dan kembali duduk lagi di sana.

He's My Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang