16; Plan

600 80 11
                                    

"Ya ampun, Achel ... kenapa duduk di situ? Itu 'kan kotor, Chel," tanya Brian setengah memperingati si adik lantaran kedapatan duduk di sisi genangan air bekas hujan—di belakang rumah sembari memainkan bebek karetnya. Pantas saja sejak tadi dipanggil tak juga menyahut, ternyata ia sedang asyik main sendiri.

"Wek, wek." Achel memasukkan bebeknya ke dalam air lantas mengeluarkannya lagi; berulang kali.

"Achel gak boleh ngubek-ngubek comberan, ayok bangun," titah si kakak kemudian. Tapi tak digubris sama sekali, dan si bungsu masih asyik dengan mainannya.

"Achel," panggilnya lagi. Tapi masihlah tetap sama, tak ada reaksi apapun dari si empunya nama. Hingga Brian berjongkok dan mendekatkan bibirnya ke sisi telinga Marcel, berbisik pelan, "Byan punya jelly."

"Hng?" Adiknya menoleh seketika.

Berhasil! pekik Brian dalam hati. Senyumnya mengembang menampilkan lesung pipi yang manis disusul anggukan kepala lanjut bertanya, "Achel mau jelly 'kan?"

"Ma-mau ...." Marcel langsung berseru seraya melompat dari tempatnya duduknya.

"Ya udah, kalo gitu sekarang Achel mandi ya. Udah mau malem juga 'kan. Kalo Achel duduk terus di sini, nanti ada hantu yang ikut nemenin Achel, lho," bual sang kakak, mencoba menakuti Marcel ia lanjut bertanya, "Achel mau ditemenin sama hantu?"

"Hi ... ma-mau enggak!" Marcel menggeleng ribut mendengarnya. "A-Achel ... mbe-bebet man-mandi mau," cicitnya kemudian mana kala si kakak mengajaknya berdiri dan memasuki rumah.

"Iya mandinya sama bebek." Brian mengangguk kemudian, paham benar dengan apa yang dimaksudkan si adik dari ucapannya.

Tapi saat ia hendak menutup pintu, manik ambernya tak sengaja melihat ke arah gerbang kecil di tembok pagar belakang rumahnya. Dalam hati ia menggumamkan kata syukur, untungnya ia tak pernah melepaskan gemboknya sebab mana tahu bila si bungsu akan kabur keluar sana.

***

"Wek, wek ... wush ...." Remaja manis itu kini sudah terduduk di dalam bathtub penuh air dan busa sabun, sementara kedua tangannya sibuk memainkan beberapa bebek karet dan juga mainan plastik lainnya. Di belakangnya ada sang kakak yang duduk di kursi kecil, di tepian bak mandi sembari terus menggosok punggungnya dengan sabun cair.

"Achel gak boleh kayak tadi lagi ya. Genangan air hujan itu kotor, banyak kumannya. Nanti Achel bisa sakit kalo ma—"

Ups, Brian segera menghentikan ucapannya. Nyaris saja ia berucap kata main pada si bungsu dan untungnya tak sampai terjadi. Sungguh, kata main adalah satu-satunya kata yang ada dalam daftar hitam otak Brian. Dan mengucapkannya pada Marcel adalah sesuatu yang amat terlarang untuk dikatakan.

"—gak boleh pokoknya," ucapnya, melanjutkan kalimat yang tadi sempat terputus.

"Hng?" tapi sepertinya Marcel tak begitu mendengar jelas apa yang dikatakan Brian barusan. Bahkan ia masih asyik dengan bebek karetnya saat ini.

"Udah, yuk. Dibilas dulu badannya," ajaknya kemudian sembari meraih lengan Marcel, mengajaknya keluar dari bathtub.

"Ma-mau engga ...," rengek si bungsu, enggan keluar dari zona nyamannya saat ini.

"Tapi Achel udah setengah jam lebih berendam di dalam air, nanti bisa masuk angin."

"Aaahhhh ...." Suara rengekan kembali terdengar kencang mana kala kakaknya memaksa Marcel untuk segera bangun.

"Ya kalo Achel gak mau keluar dari bathtub, nanti jelly-nya Byan yang makan nih," ancam yang dewasa, seketika itu juga si adik berhambur memeluk tubuhnya.

He's My Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang