Spam komennya atuh kakak-kakak. Biar makin semangat revisinya. Eheheheheh
.
.
.
.
.
.
.
.Brian sedang fokus pada laptopnya saat Weynie datang dengan membawa dua gelas minuman, pria itu lantas menyerahkan satunya sembari berkata, "untukmu." Pada sosok di depannya yang sedari tadi menunduk; resah.
"Untukku?" tanya Brian sembari mengangkat wajah, menatap Weynie dengan raut bingung.
"He-em." Angguk si lawan bicara. Ia kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi sembari melempar pandangan pada sekeliling kantin sekolah, tempat mereka berada saat ini.
Lengang, tak banyak orang berada di sana selain para penjaga counter makanan dan minuman saja, selain itu pengunjungnya hanya terhitung mereka berdua. Mungkin karena waktu yang masih menunjukan jam belajar hingga tempat tersebut tak sampai padat—sesak seperti saat istirahat tiba.
"Terima kasih," jawab Brian. Lantas ia segera menyesap minuman tersebut hingga setengah habis sebelum kembali melanjutkan kegiatannya, melakukan sesuatu di laptop tersebut.
"Kamu niat banget bawa laptop segala, lagi ngelanjutin kerjaan ya?" terka Weynie, sedikit penasaran dengan apa yang Brian lakukan saat ini.
"Ah?" Wajah itu kembali terangkat, ia tersenyum kikuk sebelum menggeleng pelan. "Aku lagi nyari kerjaan," katanya kemudian.
Mendengar itu, Weynie jadi tak enak hati kemudian berucap, "maaf, kukira kamu sedang ada deadline kerjaan."
"Eh? Gak pa-pa, kok. Aku emang sengaja bawa laptop biar bisa sekalian nungguin Achel belajar," sahut Brian.
Weynie mengangguk mengerti, lantas ia kembali bertanya, "maaf aku gak bermaksud apa-apa, tapi kalo boleh tau kamu pendidikan terakhirnya apa? Dan kerjaan apa yang kamu cari?"
Brian terdiam sesaat sebelum menyahuti, "aku sarjana akutansi dari Universitas Kingston, dan mungkin jika gak dapet kerjaan yang cocok nanti mau nyalon jadi PNS." Ia tertawa kecil.
"Universitas Kingston yang di London maksudmu?" balasan berupa tanya dari Weynie entah kenapa terdengar begitu antusias. Sementara Brian hanya mengangguk membenarkan.
"Ehm ... aku dapat beasiswa di sana," terangnya santai lalu kembali menyesap minumannya.
"Kebetulan, aku punya Om yang memang sedang membuka lowongan pekerjaan untuk posisi keuangan ... ah, lebih tepatnya menjadi internal auditor, dan dengan gelar sarjana akutansimu itu, aku yakin kamu bisa diterima di perusahaannya."
"Hah!? Apa?!" Brian terlalu terkejut mendengar ucapan Weynie barusan, ia bahkan nyaris menyemburkan minumannya ke laptop jika saja tidak ia telan lebih dulu.
"Ada lowongan pekerjaan di perusahaan milik Om-ku, untuk bagian internal auditor jelasnya. Kamu berminat?" ulangi Weynie.
Bak anak kecil yang diberi permen oleh orang tuanya, Brian seketika mengangguk ribut sembari menjawab, "Mau! Mau! Mau! Mau banget!" Yang sontak membuat Weynie tertawa karenanya.
"Oke, kalo gitu kamu siapkan dulu berkas untuk lamaran kerjanya, biar aku bantu nanti supaya kamu bisa diterima," jelasnya kemudian.
Pernik amber Brian berbinar ceria, ia kemudian menggenggam tangan Weynie sebelum berucap—nyaris berteriak kencang—dengan amat semangat. "Makasih banyak, Win!"
***
"Gimana tadi sekolahnya?" tanya Brian sembari membalurkan minyak kayu putih pada punggung Marcel yang—tadi menggerutu—gatal katanya. Ada beberapa bentol merah di sana, mungkin disebabkan gigitan nyamuk. Malam ini memang tidak seperti biasanya. Nyamuk lebih banyak dari biasanya. Barangkali disebabkan oleh rumah kosong di sebelah yang habis membersihkan pohon besar serta semak belukar di area rumah karena sudah di sewa seseorang.
"Hng?" Adiknya itu hanya merespon demikian, tak menolehkan wajah sedikitpun dari rubik mainannya.
"Chiko gak usilin Achel lagi, kan?" tanya si kakak lagi.
"Hnggg ... Ki-Kikko ... na-nanis," cicit Marcel pelan.
"Nangis? Kenapa Chiko nangis?" bingung Brian.
Alih-alih menjawab, Marcel malah merengek sembari memeluk kakaknya dengan manja meminta susu. "Ma-mau cucu ... Yan ...."
Brian merunduk, melihat wajah si adik yang jaraknya hanya terpaut kurang dari sejengkal itu lalu menjawab, "tapi abis minum susu, Achel langsung bobo, ya?" titahnya.
"Ma-mau cucu ...," rengek Marcel lagi.
"Iya, iya, ya udah sekarang Achel boboan di kasur, Byan bikin susunya dulu, ya," perintahnya sebelum beringsut bangun dan pergi keluar. Sementara itu si bungsu terlihat melesak ke bantal, bersiap untuk tidur.
Selang sekitar sepuluh menitan, Brian pun sudah kembali dengan segelas susu hangat di tangannya. Tapi tatkala ia masuk ke kamar Marcel, langkahnya pun tertenti saat ia mendapati jika adiknya itu sudah tertidur pulas di kasurnya.
"Loh, tadi ngambek minta susu. Sekarang malah udah tidur duluan," gumamnya sembari meletakan gelas ke atas nakas. Lantas tangannya beralih meraih selimut dan membalutkannya ke tubuh Marcel.
Tangan besar dengan jemari kokoh itupun terlihat mengusap lembut untaian rambut adiknya, sebelum ia mendekatkan wajah dan berbisik pelan di telinga si bungsu. "Selamat tidur bintang kecil."
Lantas ia pun kemudian pergi membawa susu yang tadi setelah mematikan lampu kamar tersebut.
Ah, Brian rasanya senang kini Marcel bisa kembali menjalani hari-harinya dengan normal seperti sedia kala. Melihatnya kembali bersekolah, punya teman baru, bermain dengan riang, dan berceloteh kala akan tidur malam sudah cukup membuat hatinya bahagia.
Kebahagiaan seorang Brian Canavaro yang sederhana adalah melihat senyum merekah indah di bibir ranum adiknya, Leander Marcelino.
Berniat memejamkan mata, Brian membaringkan tubuh di atas sofa. Namun sayang hingga menit ke-30 ia tak kunjung menemukan kantuk. Matanya kian terbuka lebar, sementara pikirannya jauh berkelana memikirkan seluruh kesalahan yang menjeratnya pada sebuah penyesalan.
Menanggapi gerayangan aneh yang mengusik ketenangan batinnya, Brian berdiri, berjalan pelan menghampiri Marcel kembali. Membuka, pintu, membiarkan lampu padam dan hanya lampu tidur saya yang menyala. Merebahkan badan, lantas merubah posisi menjadi miring, sekadar bisa melihat rupa sang adik yang tengah tenggelam di alam mimpi. "Achel, besok Byan mau melamar kerja. Do'ain supaya diterima, ya," bisiknya menyisir surai Marcel yang sedikit berantakan.
Brian kembali bercerita. "Chel, kalau aja kamu ini memiliki pemikiran layaknya bocah pada umumnya, aku yakin kamu gak akan pernah maafin aku yang udah ninggalin kamu sampai begini. Aku yakin, pas pulang kemarin kamu bakal mukulin aku, atau ngebunuh aku." Ia menjeda, mengambil napas dalam menahan gemuruh yang tak asing lagi di dadanya—benar-benar terasa sesak. "Aku begitu sering mengingkari janji, Chel. Dan aku takut jika lagi-lagi mengingkari janji. Takut lalai, dan 'kehilangan' kamu lagi."
Bersahutan suara malam menelan segala angan Brian, membungkamnya dalam tangis, bersamaan tubuh ringkih yang ia rengkuh penuh afeksi. Setiap detik, penyesalan mencekik. Harapannya kini hanya tinggal secuil, namun Brian tak akan berhenti. Dirinya menggantungkan seluruh asa di esok hari. Adalah pekerjaan yang baik, untuk kehidupan mereka yang lebih layak.[]
![](https://img.wattpad.com/cover/255038579-288-k312477.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Brother [END]
Fiksi PenggemarSEGERA TERBIT Bagi Brian Canavaro Warren, Leander Marcelino adalah saudara paling sempurna yang Tuhan berikan untuknya meski mereka tak dilahirkan dari rahim yang sama. Achel panggilannya, penderita autism spectrum disorder (ASD) yang dianggap sebag...