20; Kausa Traumatis

404 34 0
                                    

'Tuhan, maafkan aku. Aku sungguh tidak sengaja mengatakan kata itu padanya. Kumohon maafkan aku, Tuhan.'

Tak ada hentinya Brian merapalkan kalimat do'a sembari tertunduk lesu. Lorong tempatnya duduk menunggu kini terlihat tak asing lagi; sebab dalam ingatannya kembali mengulang akan hari naas di mana sang ibu pergi ke pangkuan Tuhan.

Kini ia kembali duduk di sana, menunggu pintu kaca bertirai hijau gelap itu terbuka dan membawa berita-yang semoga hanya akan ada-baik yang didengarnya.

Puji syukur pada Weynie karena disaat Brian benar-benar tak lagi dapat berpikir lantaran kalut akan Marcel yang mendadak pingsan, lelaki itu pulang diwaktu yang tepat dan tentunya terkejut bukan main mana kala menemukan Brian; tengah menangis dalam gelap dengan tangan memeluk tubuh adiknya yang sudah terkulai lemas.

Weynie kemudian membantu Brian membawa Marcel ke Rumah Sakit terdekat, menembus gemuruh dan riuhnya tiupan angin serta hujan di luar menggunakan mobilnya. Sementara itu Chiko dan Ara ia tinggalkan di vila.

"Minumlah," ucap pria muda tersebut sembari menyodorkan segelas kopi yang dibelinya dari kantin rumah sakit tadi.

Brian menggeleng pelan, masih merunduk dan enggan mengangkat wajahnya yang terus ia sembunyikan di balik telapak tangan.

"Achel akan baik-baik saja, Brian. Percayalah, dia anak yang pintar lagi kuat," ucap Weynie berusaha meyakinkan temannya.

"Aku ...." Kalimat itu tak dilanjutkan oleh lawan bicaranya. Dari wajah yang terangkat, Weynie bisa melihat segimana rasa kecewa bercampur takut yang diperlihatkan lewat tatapan manik-manik amber itu. Begitu sedih dan berurai air mata.

"Aku tahu apa yang akan kamu katakan, Brian. Jangan terus salahkan dirimu," sangkal Weynie, dan tumpahlah tangis itu kembali.

***


'Tekanan darahnya sempat melonjak tadi. Efek dari shock juga tremor. Untuk sementara waktu alangkah baiknya pasien diberikan waktu sendirian dulu agar kembali tenang.'

Itu hanya sekilas dari kalimat sang dokter yang bisa Brian ingat. Selebihnya entah apa; mengabur bagai udara lantaran ia tak begitu memedulikannya. Tangan besarnya mengusap pucuk kepala dari sosok yang terlelap itu. Merasakan untaian helai surai selembut sutera di kulitnya kini.

"Maafkan aku," bisiknya pelan di sisi telinga si adik. Seiring dengan itu setetes air mata ikut jatuh dengan teramat lembut ke pipi seputih pualamnya.

Krieett ...

Mendadak pintu ruang rawat-inap itu terbuka, dan Weynie muncul di baliknya dengan sekeranjang buah-buahan. Lelaki yang usianya hanya terpaut tak begitu jauh tersebut menarik kursi di dekat Brian lalu duduk di sana.

"Sudah bangun?" tanyanya pelan, tapi hanya gelengan kepala yang dijadikan jawaban oleh Brian. "Aku membelikanmu buah dan juga roti. Sejak sore tadi kamu belum makan, bukan?" katanya kemudian.

Brian mengangkat wajahnya, melirik pada jam dinding di dekat pintu yang kini telah menunjukan pukul sepuluh malam. Dan memang benar, sejak kejadian petang tadi ia belum makan apa-apa sama sekali. Tapi entah kenapa rasanya tak ada sedikitpun rasa lapar maupun haus yang dirasakannya. Mungkin karena terlampau cemas akan keadaan Marcel membuat Brian lupa akan keadaan perutnya sama sekali.

"Aku gak laper," sahutnya pelan, lalu wajahnya kembali merunduk dengan tangan sibuk mengusap jemari mungil Marcel yang tersematkan jarum infus.

Weynie tahu sekukuh apapun dia memaksakan agar Brian makan, lelaki itu takkan mendengarkannya. Jadi yang mampu ia katakan hanyalah seuntai kalimat permintaan maaf dengan suara teramat pelan, "Harusnya aku tidak meninggalkanmu berdua tadi, maafkan aku."

He's My Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang