"Ki-Kiko ... meyem!" titah Marcel pada Chiko yang duduk dan sibuk menggambar di depannya itu.
"Hah?" Chiko nampak mendongak dengan wajah bingung.
"M-meyem!" titahnya lagi.
"Masih siang, malemnya belom!" ujar Chiko.
Ah, dasar anak itu, jelas-jelas di luar rumah sudah gelap gulita dan pendar lampu di tiang-tiang jalanan sejak satu jam yang lalu nampak gemerlapan, pun dengan banyaknya bintang yang mulai menunjukan eksistensinya. Bagaimana bisa Chiko bilang jika saat ini masih siang?
"Ih ... me-meyem!" Kali ini Marcel meniup kuat wajah Chiko, membuat teman bermainnya itu seketika menutupkan mata.
"Bau!" teriak Chiko seketika.
Hup!
Tanpa disangka, Marcel mendadak menangkup wajah Chiko dan mendekatkan wajahnya; membuat manik bulat Chiko terbuka semakin lebar.
"Kiko .. jeuwet! Achel ... ca-cakepin!" ucapnya, mungkin berniat mengatakan jika wajah Chiko jelek dan ia punya inisiatif untuk membubuhkan makeup di sana. Dan hal yang tak terduga pun terjadi setelah itu.
***
Brian baru saja selesai menyapu dan membereskan beberapa peralatan di dapur. Sedangkan Ara kini terlihat tengah menata piring bersih yang baru saja dicucinya ke dalam rak. Beda lagi dengan Weynie yang sedang membawa ember keluar rumah, entah kemana.
"Win," panggil Brian dari ruang tengah, pelan namun masih bisa ditangkap rungunya Weynie.
"Ya?" jawab si empunya nama sembari melangkah mendekat.
"Coba kamu lihat apa yang baru aja Marcel dan Chiko lakuin," titah Brian kemudian.
Karena penasaran, Weynie pun mendekat, melongokkan kepalanya dan sedetik kemudian keduanya sudah nyaris tertawa terbahak; namun dengan suara yang tertahan.
"Astaga ... mereka itu main apaan? Kenapa jadi begitu?" tanya Weynie terheran sambil mengusap air matanya akibat terlalu lama tertawa baru saja.
Tentu saja Weynie bertanya demikian, jika saat ini yang mereka lihat adalah; dua remaja laki-laki yang sudah tertidur pulas di lantai, dengan wajah sama-sama dipenuhi coretan spidol.
Ada gambar kumis di alis Chiko, gambar rumah di pipi Marcel, gambar sepeda di dagu Chiko, lalu juga sandal jepit, mobil, ulat, gunung sampai obat nyamuk juga lainnya lagi di wajah keduanya. Dengan beraneka warna dan ragam.
Tak hanya di wajah, pada leher dan baju yang mereka kenakan pun tak luput dari warna-warni pewarna itu. Oh, jangan lupakan juga noda yang hampir serupa pada lantai berkeramik putih di sana; semuanya tak luput dari mahakarya keduanya dalam membuat lukisan.
Tapi dibalik kekacauan yang dua remaja itu perbuat, kakak mereka justru terlihat mengulum senyuman saat melihat wajah-wajah teduh sang adik yang nampak tertidur dengan lelapnya. Meskipun hanya berbaring di atas lantai tanpa alas apapun, serta di antara ceceran pewarna juga buku gambar yang berhamburan.
"Ah, mereka lucu banget kalo udah tidur," gumam Weynie sembari mengangkat tubuh Chiko dan menggendongnya untuk dibaringkan ke dalam kamar masing-masing.
"Aku seneng liat Achel yang seperti ini. Dia kelihatan bahagia dengan teman barunya tanpa harus meninggalkan dunianya," sahut Brian sembari melakukan hal serupa; menggendong Marcel dan membawanya masuk ke kamar.
"Ah, iya. Chiko juga jarang punya teman yang mau lama-lama dekat dengannya."
Dan keduanya pun masuk ke dalam kamar masing-masingnya
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Brother [END]
Fiksi PenggemarSEGERA TERBIT Bagi Brian Canavaro Warren, Leander Marcelino adalah saudara paling sempurna yang Tuhan berikan untuknya meski mereka tak dilahirkan dari rahim yang sama. Achel panggilannya, penderita autism spectrum disorder (ASD) yang dianggap sebag...