08; What Happened

697 72 6
                                    

Tiga tahun kemudian

London, 11.44 Am

Brian memandang jalanan yang ramai dari jendela kamarnya. Di atas meja belajar tergeletak paspor, tiket pesawat, dompet dan beberapa benda lainnya. Senyumannya mengembang-luas-menampilkan lesung pipi yang begitu manis mana kala teringat akan seseorang yang telah ia tinggalkan selama tiga tahun terakhir demi menempuh pendidikan—Marcel. Brian semakin tak sabar saat membayangkan wajah sumringah beradu keterkejutan Marchel nanti bila tahu ia akan pulang hari ini.

"Kamu mau pulang hari ini?"

Seseorang muncul dan menepuk bahu Brian pelan, membuatnya menoleh lalu mengangguk semangat. "Ya, hari ini aku akan pulang," imbuhnya tanpa melepas senyumnya; membuat lawan bicara—Mathew—yang tak lain merupakan teman sekamarnya kini turut tersenyum.

"Wah, kau pasti sangat gembira. Apa kau sudah menghubungi orang tuamu?" tanya Matt lagi menggunakan logat khas orang London.

Brian terdiam sesaat, namun kemudian menggeleng pelan tatkala mengatakan, "belum."

"Jadi, kau ingin memberi kejutan. Begitukah?" terka Matt.

Brian kembali menggeleng. "Hmm ... tidak juga, hanya saja nomor ayahku sedang tidak bisa dihubungi sejak beberapa hari yang lalu."

"Sudah mencoba mengirimkan pesan?"

"Sudah, tapi tidak dibalas."

"Mungkin ayahmu sedang sibuk saat ini. Tenanglah, dia pasti gembira jika tahu kau pulang ke rumah," ucap si kawan sembari mendudukkan tubuhnya ke tepian kasur Brian, yang sebentar lagi akan berganti kepemilikan.

"Aku merindukan adikku," gumamnya sembari menatap foto Marcel yang ia gunakan sebagai layar kunci di ponselnya.

"Marvel?"

"Marcel."

"Ah, maaf. Aku lupa."

"Tidak apa."

"Dia pasti gembira jika tahu kamu pulang."

Brian mengangguk semangat. "Aku tak sabar melihat rupanya seperti apa saat ini, pasti sudah lebih gemuk dari yang terakhir kali kulihat," katanya.

Mattew tulus mengusap pundak Brian-menyalurkan empatinya—disusul kata, "aku yakin Machel akan baik-baik saja di sana, ayahmu pasti bisa merawat Marchel dengan baik."

"Kalau sudah selesai mengemas, ayo ku antar," imbuh Matt sebelum benar-benar menghilang di balik pintu—meninggalkan Brian sesuai mendapatkan sebuah anggukan.

Ia berusaha mengais kepercayaan yang hanya tersisa lima puluh persen di dalam hatinya. Selama tiga tahun kepergiannya tak sekalipun Brian merasa tenang, kendatipun sang ayah selalu memberi kabar dan ia pun mendengar suara Marcel; meski hanya berupa panggilan nama saja—Byanseperti biasanya seperti dulu-dulu.

Namun, sebab lain juga terkadang memaksanya untuk bekerja keras mengenyahkan sisa curiga ketika teringat perilaku sang ayah selama mereka bersama dulu. Pernahkah beliau memperlakukannya dengan baik? Menafkahi mereka? Membuatkan sarapan? Mengantarkan sekolah? Mengajari mereka mengerjakan tugas sekolah; sepeninggal sang bunda? Tidak! Bahkan dia nyaris gila.
.
.
.
.
Jakarta 18.44 Pm

Hembusan napas itu terasa berat, matanya masih terbuka namun pandangan kosong entah mengarah ke mana, sebelah pipinya terlihat lebam merah karena luka baru, sudut bibirnya pecah, sedangkan pada sisi wajah lain juga nampak dengan keadaan yang serupa; penuh memar membiru. Sementara itu-yang lebih parahnya lagi-ia terbaring dengan keadaan polos tanpa busana.

He's My Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang