07; Kepergian Di Semenjana Rasa Gamang

790 86 4
                                    

Brian bangun setiap jam lima pagi untuk mencuci pakaian. Selama menunggu cucian selesai di dalam mesin cuci, ia pun mengisi waktunya dengan belajar; sekedar mengulang soal atau melanjutkan tugasnya yang tertunda. Setelah itu beralih membersihkan rumah seperti menyapu, mengepel, dan sebagainya. Lalu dilanjutkan dengan memasak sarapan pagi sebisanya; nasi goreng atau roti panggang.

Seusai mengerjakan pekerjaan rumah, segera ia berjalan menaiki tangga menuju lantai dua; membangunkan si adik dari tidurnya, memandikannya dengan telaten, membantunya memakai seragam, sampai menyiapkan peralatan sekolah. Brian cekatan dalam urusan rumah, tidak disangka akan rajin seperti ini mengingat semasa ibunda ada, tak sekali pun ia menyentuh pekerjaan rumah. Prioritasnya adalah orang-orang rumah, sedang urusannya paling belakang-untuk sekarang.

Menggantikan peran ibu dalam berbagai pekerjaan di rumah mereka yang kian hari kian terasa sunyi, karena sang ayah juga terasa semakin berubah; tak lagi sama seperti dulu. David yang dulu seolah hilang ditelan bumi, ditelan rasa kehilangannya, ditelan lubang hitam karena kepergian istrinya. Lebih lagi semuanya terasa semakin memburuk setelah perusahaan yang dikelolanya justru hancur, mengalami kebangkrutan. Dan dari segalanya yang ia punya sebelumnya, yang tersisa dari yang tersisa kini hanyalah sebuah mobil tua saja.

Jangankan serba-serbi tentang perusahaan, lain hal seperti rumah, vila, kendaraan serta aset-aset berharga lainnya pun ikut dijual serta ditarik bank untuk menutupi hutang-hutangnya. Membuat mereka kini terpaksa hidup di rumah tua peninggalan sang kakek dengan keadaan sangatlah sederhana, jauh dari kata mewah seperti sebelumnya.

Dan bahkan jika memang ingin tahu lebih, Brian pun terpaksa mencari pekerjaan sambilan untuk mencukupi kebutuhan harian mereka. Dengan menjadi seorang pelayan di sebuah cafe pada selepas jam pulang sekolahnya, ia bekerja biasanya dari pukul enam sore hingga pukul 11 malam.

Bagusnya, Marcel tak pernah merengek jika sang kakak pamit untuk pergi bekerja. Ia akan duduk diam di kamarnya seperti apa yang diperintahkan Brian jika ia tengah sendirian.

Ah, anak itu benar-benar beda dengan remaja ABK kebanyakan. Selain pendiam, ia juga begitu penurut. Meski hanya berbekal crayon, spidol, ataupun cat air saja sudah cukup untuk membuatnya diam duduk di tempatnya selama semalaman.

Marcel lebih mandiri seusai kepergian Deana. Tentu saja semua berkat ajaran Brian. Ia mengarahkan dimana tempat mengambil makanan, bagaimana cara mengambil, menyuapkan ke dalam mulut; yang pada dasarnya jauh-jauh sudah di ajarkan oleh mendiang ibu mereka. Tidak semudah yang diutarakan-memang. Brian kerap kali berdebat, karena Marcel yang rewel tidak mau makan. Hanya sepele, Marcel ingin disuapi dan Brian memaksa makan sendiri. Yang pada akhirnya, Marcel tetap makan sendiri meski konsekuensi membersihkan rumah dua kali-harus Brian dapatkan.

Bila jam kerja telah usai, di malam hari Brian acap kali menemukan Marcel tertidur di lantai dengan tangan yang masih menggenggam mainannya, bekas makanan dimana-mana yang berujung pada dirinya yang harus membersihkan seluruh sudut ruangan; kendatipun seluruh badannya remuk redam. Belum lagi, harus menggendong Marcel dan memindahkannya ke kamar.

Sungguh, yang paling menyayat hatinya bukan karena Brian yang harus bekerja paruh waktu, merelakan separuh masa mudanya untuk urusan rumah, atau bahkan, merawat Marcel yang nyata-nyata berkebutuhan khusus. Melainkan, sedih dan pilu tiap kali melihat Marcel tertidur di lantai hanya untuk menunggunya pulang kerja, karena tak ada lagi yang memedulikan bagaimana keadaan anak itu selain dirinya dan mendiang Deana. Sebab David yang kian tak peduli dan semakin hilang arah; kerap pulang larut malam dalam keadaan mabuk berat.

Dunianya hanya seperti itu. Brian banting tulang, Marcel sendirian, dan Ayah yang hidup dalam kegelapan. Tiga tahun terus berlanjut tanpa melewatkan hal-hal melelahkan, atau mungkin jumpai rasa senang. Kakak beradik ini telah dikepungi oleh masa yang begitu berat, namun tak sekalipun mencoba menyerah. Barangkali, sesekali Brian akan bercerita, mengeluhkan seluruh beban kepada Marcel yang meski nyatanya hanya mendapat senyum tipis darinya. Namun, lebih dari itu, Brian merasa tenang ketika Marcel memeluknya begitu erat. Brian paham, bahwa, Marcel pun sebetulnya peduli terhadapnya. Heranya kadang, kenapa orang-orang di luar sana masih saja salah sangka terhadapmu? Penderita autisme bukanlah autis.

He's My Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang