Angin semilir berhembus menerbangkan dendaunan kering di sepanjang jalan, membelai mesra surai ikal seorang anak lelaki berusia lima tahun yang duduk tenang di depan sekolah; menunggu sang ibu datang menjemputnya.
Namanya Brian Canavaro Warren, atau biasa dipanggil Byan oleh teman-teman dan juga orang tuanya. Bukan tanpa alasan jika ia lebih akrab dengan panggilan Byan sebab dirinya sendiri yang sukar melafal konsonan 'r' menjadikan Brian terucap menjadi Byan; cukup menggemaskan sehingga seluruh orang terdekat mengikuti cara bicaranya, Byan.
Bocah lelaki yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak itu terlihat manis; rambutnya ikal bergelombang, kulitnya putih bersih, dan memiliki bola mata berwarna amber yang terlihat begitu indah. Ia duduk di kursi kecil panjang, di bawah pohon sembari mengayunkan kaki ke depan-belakang.
Suasana di sekitar nampak sepi sejak bel pulang beberapa saat lalu, hanya menyisakan guru-guru saja yang masih kerap terlihat berlalu-lalang di sekitar tempatnya duduk. Tapi tak sampai menunggu lama sebuah mobil terlihat menepi di pinggir jalan, pintunya terbuka menampilkan seorang wanita cantik melambaikan tangan ke arahnya.
"Byan!" Wanita itu berseru sembari bergegas mendekati si anak yang juga nampak berlari mendekati.
"Mama kenapa lama?" gerutu si kecil saat meraih tangan ibunya.
"Iya maaf tadi Mama ngisi bensin dulu jadi telat jemputnya," jawab Deana --si ibu-- dengan suara penuh afeksi.
"Ooh ...," vokal si kecil membeo tanpa protes apapun lagi. Tapi berselang detik kemudian ia mengangkat selembar kertas putih yang sejak tadi di bawanya. "Mama coba liat, tadi Miss. Lisa bilang kalo gambarku bagus, katanya aku pintar menggambar," jelasnya antusias.
"Oh, ya? Memangnya kamu gambar apa?" tanya ibu sembari membukakan pintu mobil untuk Brian.
"Pesawat tempur," jawab Brian dengan senyuman luas dan nada yang ceria.
"Wah, hebatnya anak Mama."
Baru saja kaki kecil Brian hendak melangkah masuk, mendadak ia berhenti di ambang pintu dengan raut berubah serius. Tentu saja perilakunya yang tiba-tiba itu membuat Deana bingung dan lantas bertanya, "Byan? Ada apa?"
"Ssstt ...!" perintah Brian, malah menaruh jari telunjuknya di depan bibir seraya mendesis, meminta agar ibunya memelankan suara.
"Loh? Ada apa?" Deana masih tidak mengerti, kembali mengulangi dengan suara berbisik mengikuti Brian; menghargai perintah putranya. Begitu lucu tingkah putra kecilnya ini. Menggunakan mimik serius, ia bertindak seolah-olah menemukan sesuatu yang sangat penting dan rahasia.
Dalam hitungan detik yang nyaris saja menyerempet menit, Deana tak kunjung mendapatkan jawaban. Si kecil malah menolehkan kepalanya ke kanan-kiri, mencari sesuatu, membuat Deana semakin bertanya-tanya. Hingga beberapa detik kemudian sang ibu dikejutkan dengan tindakan Brian yang berlari kencang meninggalkannya mengarah ke sebuah taman di seberang jalan.
Deana memekik dalam sekon itu juga, kemudian berlari menyusul Brian yang begitu gesit. "Byan! Kamu mau kemana?" tanyanya lantang berharap suaranya didengar oleh sang anak.
Suara derap kaki keduanya bersautan dengan suara kendaraan yang lewat di jalanan, sampai akhirnya keduanya pun berhenti tepat di bawah seluncuran.
"Aduh, Byan ... kamu tuh suka banget lari-larian mendadak gitu, ada apa, sih?" gerutu Deana tatkala berhasil mengejar anaknya yang kini terlihat berdiri mematung, fokus memandangi sesuatu. Napasnya masih terengah-engah akibat berlari, begitupun keringat yang mulai mengalir dari dahi ke sisi wajah, kedua pipi gembilnya tampak bersemu kemerahan akibat kelelahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Brother [END]
Fiksi PenggemarSEGERA TERBIT Bagi Brian Canavaro Warren, Leander Marcelino adalah saudara paling sempurna yang Tuhan berikan untuknya meski mereka tak dilahirkan dari rahim yang sama. Achel panggilannya, penderita autism spectrum disorder (ASD) yang dianggap sebag...