Hujan telah reda sejak satu jam yang lalu, menyisakan tanah becek dan kubangan air yang terlihat di beberapa sisi jalanan.Ban mobil tua itu berhenti tepat di depan gerbang rumah tua yang mulai reot dimakan usia. Sosok pengendaranya pun keluar sembari membawa sekantung plastik berisi makanan.
David membuka kunci pintu depan, lalu melangkah ke lantai dua tanpa ada rasa curiga atau keanehan di rumah tersebut. Ia bahkan tidak melihat adanya kopor di ruang tengah sewaktu masuk tadi.
Tapi saat kakinya tepat berada di depan pintu kamar, mendadak ia berhenti karena selintas pikiran kembali merasuki benaknya.
"Uang yang akan kau terima tak berjumlah sedikit, Dave. Bisa sampai tembus jutaan dolar jika kau ingin tahu." Lelaki itu bicara dengan nada yang tinggi, penuh antusiasme akan topik pembicaraan mereka.
"Tapi dia tidak normal, Martin!" sahut David, bersikukuh dengan ucapannya sendiri.
"Kau bodoh? Anak sepolos itu tentu akan ada banyak yang menginginkannya. Haruskah aku ulangi lagi? Dia bisa membuatmu kaya, Dave! Perhitungkan berapa jumlah uang yang bisa dihasilkannya dalam satu malam saja," jelas Martin-pria yang berbicara dengannya itu-sembari mencondongkan tubuhnya ke arah meja kaca untuk meraih botol whisky, Jack Daniel's dan menuangkannya ke dalam gelas.
"Aku tidak mau menjualnya," balas David lagi.
"Apa aku mengatakan jika kau harus menjualnya untuk itu? Tidak, bukan?" sahut Martin. Tangan dengan banyaknya cincin dari batu-batuan mahal yang tersemat di beberapa jari itu dengan begitu ringan menggoyangkan gelas yang digenggamnya, membuat cairan berwarna keemasan tersebut ikut bergerak, berputar seiring dengan gerakannya.
"Maksudmu?" sebelah alis David terangkat seketika, dan seulas senyuman disuguhkan Martin padanya sebelum menjawab dengan satu kata, yang sukses membuat David tersentak kaget.
"Haruskah aku melakukannya?" gumamnya pelan. Suara helaan napas panjang seketika berhembus tatkala ia mengusap wajah dengan kasar.
Memikirkan apa yang terjadi beberapa jam lalu membuat kepalanya terasa semakin pening. Lantas tangan itu terangkat, meraih knop pintu dan memutarnya.
Cklek!
Suara deritan kayu seketika menyapa rungu tatkala daun pintu itu terbuka. Gelap dan sunyi adalah yang pertama David temui sebelum ia kembali bergerak masuk dan meletakan barang bawaannya ke atas nakas.
"Aku membawakanmu makanan. Kau masih tidur?" tanyanya sembari berdiri di tepian ranjang. "Cepatlah bangun jika kau tak ingin aku mengulangi permainan kita seperti tadi malam lagi," tambahnya.
Hening, tidak ada jawaban sama sekali. Bahkan gerakan kecil pun tak terlihat.
"Hhhh ... kau ingin main lagi denganku rupanya." Lelaki itu mengeram rendah, lantas menarik paksa kain selimut tersebut hingga terlihat jelas sosok yang berbaring di baliknya.
Duaggk!!
Mendadak David terjengkang ke lantai tatkala sebuah kaki menendangnya dengan kuat. Wajahnya nampak terkejut bukan main saat sosok tersebut berdiri di hadapannya.
"Terkejut?"
Suara itu, wajah itu, tentu David masih mengenalinya.
"Bri-Brian?"
Mendengar namanya dipanggil, Brian lantas tersenyum miring disertai netra amber yang berkilat tajam seperti seekor elang yang kelaparan.
"Ke-kenapa kamu pulang?" cicit sang ayah yang masih terkejut bukan main karena kemunculan anak sulungnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Brother [END]
FanficSEGERA TERBIT Bagi Brian Canavaro Warren, Leander Marcelino adalah saudara paling sempurna yang Tuhan berikan untuknya meski mereka tak dilahirkan dari rahim yang sama. Achel panggilannya, penderita autism spectrum disorder (ASD) yang dianggap sebag...