17; Piknik

538 67 18
                                    

"Kalian udah siap?"

Seperti yang ia janjikan, tepat pada pukul sembilan siang, Weynie dan Chiko datang menjemput ke kediaman Brian dan Marcel.

"Ah? Iya. Tunggu sebentar," ucap Brian sembari memakaikan sepatu di sepasang kaki adiknya, sedangkan Marcel sendiri nampak asik bermain dengan rubik favoritnya.

"Achel pinjem gak boleh!" Tiba-tiba saja Chiko yang semula duduk di dalam mobil pun keluar mendekati keduanya sebelum menengadahkan tangan, meminjam mainan. Tapi ia salah bicara.

"Ung!" Marcel menolak dan menyembunyikan kubus warna itu di balik punggungnya.

"Ah, Achel pelit," gerutu Chiko, namun kemudian ia mengeluarkan sebungkus permen jelly dari dalam saku celana dan di angkat ke depan wajah Marcel. Berusaha mengiming-imingi.

"J-jeli!" Marcel memekik kegirangan.

Chiko menyembunyikan makanan itu ke balik punggungnya, lalu mengangkat tangan ke depan Marcel sembari berucap, "Chiko mau pinjem!" Setengah memekik serta dagu diangkat meninggi, membuat kedua kakak mereka justru terkikik geli melihat tingkah bocah tersebut.

Marcel cemberut—memanyunkan bibirnya—menginginkan permen yang ditunjukan Chiko, namun ia juga enggan memberikan mainannya.

"Achel gak mau?" tanya Chiko, kembali mengiming-imingi permen jelly di hadapan wajah Marcel.

"M-mau ...," cicit Marcel pelan namun dengan nada tidak ikhlas.

"Sini-in tu kotak-kotaknya, Chiko mau pinjem!" Lagi, Chiko menengadahkan tangannya, meminta mainan yang tengah dimainkan Marcel. "Kalo Achel gak mau pinjemin, jelinya Chiko yang makan aja," ancamnya melengos, namun sesekali mencuri pandang ke arah Marcel.

Usaha memang tidak mengkhianati hasil. Berkat rayuannya, Marcel pun akhirnya menuruti kemauan Chiko meski hatinya begitu berat memberikan rubik kesayangannya pada remaja tersebut. Tidak lama, sebab setelahnya Marcel mengubah raut muramnya menjadi begitu sumringah ketika jelly telah berpindah tangan kepadanya.

"Ahaha ... anak pinter," puji Chiko sembari menyungging senyum lucu—mengikuti apa yang kerap dilakukan kakaknya—ia malah dengan iseng menepuk-nepuk pucuk kepala Marcel yang cemberut kini.

"Chiko, Chiko." Kakaknya menggeleng, tak habis pikir dengan perilaku adiknya itu.

"Eh tapinya, Chiko pinter 'loh. Dia tau cara ngebujuk yang baik tu gimana," timpal Brian dengan tubuh beringsut bangun setelah memasangkan sepatu pada kaki Marcel.

"Ehm ... iya juga sih. Biasanya 'kan dia main rebut aja." Weynie mengangguk, membenarkan.

"Lagian kamu nyadar gak? Dari tadi dia ngomongnya pelan, gak kayak biasanya yang suka ngegas gitu. Coba perhatiin."

Weynie terdiam sesaat, memandang adiknya sebelum berucap, "iya juga sih. Jadi heran, ini batrainya lowbat apa gasnya udah semaput, ya?" gumamnya yang malah membuat Brian tertawa kencang karenanya.

Ya Tuhan ... mungkin ia kira Chiko itu robot.

***

"Masih jauh?" tanya Brian saat mereka sudah berada di perjalanan.

"Kalau tidak macet, sekitar 3 jam juga kita udah tiba. Tapi berhubung ini weekend dan jalur yang mengarah ke sana hanya ada satu, jadilah macet," papar Weynie.

"Kenapa Ara gak bareng kita aja?" tanya Brian lagi, teringat akan Adara si pemilik ide menginap ini, namun tak hadir di antara mereka.

"Ara dianterin sama supirnya, sudah berangkat duluan dari sebelum aku jemput kamu." Weynie menjelaskan.

He's My Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang