09; Tertampar Prasangka

719 76 10
                                    

Setelah menempuh perjalanan hampir 16 jam, Brian sampai di Bandara Soekarno Hatta saat pagi; tepatnya pukul delapan lebih sepuluh menit. Langkahnya lebar terlihat gagah, Brian kini telah dewasa; benar-benar dewasa dari segi penampilan juga perilakunya. Mengenakan setelan kemeja putih dan celana bahan hitam, tak lupa memasang kaca mata hitam sebelum lanjut berjalan. Sesekali melirik jam yang terpasang di pergelangan tangan. Tak ayal tingkahnya mengundang beberapa pasang hawa tertuju ke arahnya penuh perasaan kagum.

Setibanya di lobi bandara, ia mengeluarkan ponsel, membuka kunci layar, sebelum lanjut mencari nomor telepon yang hendak ia hubungi. Sekali sambungan itu mengeluarkan bunyi tut pertanda panggilan telah tersambung; menunggu beberapa saat, yang faktanya tak tak kunjung mendapat balasan. Brian mencoba kembali panggilannya pada sosok di seberang, namun naasnya panggilan tersebut justru mendapat jawaban dari operator—berupa pengalihan panggilan. "Ya, Tuhan ... Papa kemana sih?" gumamnya risau.

Masih belum menyerah, Brian pun terus mencoba menghubungi sang ayah melalui telepon pun pesan melalui whatsapp hingga belasan kali jumlahnya—namun sama tak mendapat jawaban yang berarti. Berakhir lelah, pada akhirnya Brian pun memilih pergi dari bandara menggunakan taksi menuju rumahnya. Berharap dalam hati jika semuanya baik-baik saja, karena entah kenapa sejak kakinya turun dari pesawat, perasaannya justru kian diliputi rasa gundah dan gelisah.

"Tenanglah, Brian. Papa dan Achel mungkin sedang asyik minum kopi dan menonton Tv sekarang ini sampai tidak sempat memegang ponsel," monolognya sendiri, berusaha meyakinkan hati jika semuanya baik-baik saja.

Ia melangkah mendekati jajaran taksi yang menunggu para penumpang menghampiri. Memilih salah satu di antaranya kemudian menunjukkan alamat yang di tuju.

Hening menyelimuti perjalanannya, pikirannya tak henti menjelajah momen usang antara ia dan Marcel yang selalu terkenang begitu indah. Naasnya, akhir-akhir ini seluruh kenang itu menjadi momok menakutkan dalam mimpinya. Batinnya was-was kala ingatan buruk mengenai keseharian Marcel yang tak pernah di sentuh ayahnya sendiri dan bertahun-tahun jusrtu tinggal bersamanya. Apa dia baik-baik saja?

Ah, pasti iya, tekannya dalam batin; yang sudah menjadi kebiasaan—untuk berpikiran positif. Sekali lagi ia melirik ponsel dalam genggaman. "Pak, jalannya agak cepat, ya?" pintanya menggunakan suara setengah bertanya.

Melewati tol, beberapa terminal, Brian pun sampai di tujuan setelah memakan satu jam lamanya. Ia terpekur sejenak di dalam taksi, memandangi hunian yang sama sekali tak berubah meski sudah tiga tahun ia tinggalkan; teras, pohon cermai, kursi taman, bunga kamboja, pembedanya hanya ... warna—putih—rumah yang sedikit usang.

Memberikan beberapa lembar uang sebelum memutuskan keluar dan melangkah masuk ke dalam kediaman. Langkahnya sempat tertunda sejenak; mengamati bekas botol minuman keras di pojok teras. Tak ada tindakan lain darinya selain menggeleng pelan, dan melanjutkan jalan kemudian mengetuk pintu rumah.

Tok, tok, tok!

"Papa," panggilnya sembari melongokan kepala ke bagian kaca jendela, berusaha mengintip apakah di dalam ada orang atau tidak. Sepi dan gelap, adalah dua hal utama yang menyapa pandangannya. Tak ada siapapun di dalam sana.

Karena merasa penasaran dan bosan menunggu, pada akhirnya Brian masuk lewat pintu belakang rumah yang ternyata tak terkunci.

"Uuhh ...."

Bau menyengat langsung menyergap indra penciumannya saat pintu rumah itu terbuka; alkohol, sampah, asap rokok, semuanya membaur menjadi satu. Sangking kuatnya aroma tak sedap ini, Brian sempat sukar mempercayai bahwa tempat ini adalah rumah; bukan pembuangan sampah.

"Astaga ... apa Papa gak berbenah rumah? Berantakan sekali," gumamnya saat melihat begitu banyak sampah yang berserakan di setiap sudut rumah; membenarkan asumsinya. Belasan bahkan terhitung puluhan botol bekas minuman keras di atas meja ruang tamu, bungkus makanan, kulit kacang, semuanya tercecer di nyaris di setiap sudut ruang. Atas hal ini, Brian merasa kecewa dan hanya berharap bahwa prasangkanya adalah; salah.

"Marcel?"

Mendadak Brian teringat akan adik kecilnya itu, membuatnya seketika mendongak ke lantai atas lantas berlari menaiki tangga. Derap langkah kaki itupun menimbulkan suara yang seketika menggema ke seisi rumah, bersaut-sautan dengan suara hujan yang turun beberapa menit lalu; semakin deras.

Cklek!

Knop pintu itu diputar sebelum tangannya mendorong daun pintunya. Tatkala terbuka lebar suara mengerang Brian kembali ikut mengudara, sebab bebauan aneh—kembali dan—semakin tercium di hidung, membuatnya sedikit mual.

Gelap, tak ada cahaya sama sekali dalam ruangan tersebut. Bahkan lampunya pun dipadamkan. Apa memang kamar ini sengaja dikosongkan? Entahlah, tapi tangan Brian berusaha mencari letak saklar lampu kemudian menyalakannya. Sayang, ternyata saklar tersebut tidak berfungsi atau tepatnya tak membuat lampu menyala.

Saklarnya rusak kali, ya? gumamnya dalam hati.

"Astaga ... apa kamar ini tak pernah dibersihkan?" gerutunya sembari mengibas-ngibaskan tangan. Lantas kaki itu kembali bergerak menuju jendela, menyibak tirai—sebelum membuka daunnya lebar-lebar hingga udara bersih dari luar masuk ke dalamnya.

Wusshhh ....

Angin bertiup menampar wajah tampan itu segera, memainkan surai ikalnya hingga bergoyang, nampak seperti tengah menari-nari di antara debu kotor yang ikut berterbangan, menyebar ke segala arah.

Tubuh berkaki jenjang itu berbalik, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan mencari sesuatu. Sampai gumpalan selimut di atas tempat tidur menarik perhatiannya, dan membuat langkahnya beranjak mendekat.

Merasa ada yang janggal dengan apa yang dilihat kini, Brian pun menarik kain lusuh itu dengan kuat. Namun saat seluruhnya terangkat, matanya seketika membelalak lebar di sertai teriakan kencang.

"MARCEL!"

****

Entah bagaimana dan kalimat apa yang pantas untuk menjelaskan semua ini. Brian benar-benar tak tahu kata apa lagi yang bisa diucapkannya.

Tubuhnya meluruh ke lantai, terduduk di depan sosok yang terbaring di atas kasur. Lelehan air mata itu tak dapat Brian tahan lagi, jatuh begitu saja menuruni pipinya terlebih saat ia berusaha membuka seluruh ikatan tali yang mengikat kaki serta tangan ringkih tersebut, pun juga dengan rantai yang membelenggunya.

"Ach-Achel ... Achel ...." Brian bahkan tak sanggup untuk memanggil namanya. Tenggorokannya terasa diikat rantai besi dingin dengan kuat; tercekat, sesak, hanya luruhan air mata yang keluar bersama desis kesakitan dari bibirnya.

Tangan besarnya nampak bergetar, terangkat hanya untuk bisa mengusap wajah pucat yang masih terlelap dalam mimpi itu. Mati-matian ia berusaha menahan suara isakannya hanya agar bisa kembali memanggil namanya.

Namun nyatanya ia gagal. Karena tangis itu semakin pecah seiring dengan gemuruh guntur dan derai hujan di luar rumah. Saling bersaut-sautan seolah turut merasakan seperti apa hancurnya hati seorang kakak yang kini hanya bisa menangis pilu menatap keadaan adiknya.

"Ach-el ... apa yang udah—" tuturnya terpenggal akibat isak yang menyakitkan. "Papa lakuin sama kamu, Chel." Kalimatnya tersendat; pilu.

Jemari Brian yang semula mengusap lembut pipi tirus Marcel mendadak terhenti tatkala menemukan sesuatu yang janggal di tubuh itu. Tatapannya tertuju pada banyaknya bercak merah yang menyebar di sekitar leher dan dada si bungsu, membuatnya memincingkan mata dengan perasaan terus menduga-duga.

"Astaga," gumamnya sembari mengusap kasar sisa air matanya sendiri. Lantas tangannya kembali bergerak, mengusap bagian perut di mana banyak bekas memar merah serta keunguan di sana. Tapi bukan itu yang membuat Brian mulai berpikir buruk saat ini, melainkan benda padat yang menempel di kulit si adik.

"Li-lilin?" ucapnya dengan suara bergetar. Jemarinya refleks menutup mulut, sulit mempercayai hal tersebut. Pikirannya buntu, mencari makna lain dari lilin yang menempel di tubuh sang adik pun tak diketemukan selain; lilin yang berartian sperma.

Bajingan!

Masih dibalut oleh murka yang besar, Brian segera mengangkat tubuh sang adik keluar kamar. Mata merah serta pandangan bengis tak dapat membohongi seberapa besar amarah yang sedang ia coba redamkan. Yang berani memperlakukanmu tidak manusiawi seperti ini, Chel. Tak akan mendapat pengampunan dalam bentuk apa pun dariku; tanpa terkecuali. []

He's My Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang