TYT-23

2K 173 2
                                    

Kedua tangan Mahesa masih melingkar ke punggung Valeria. Dia merasakan beban tubuh Valeria semakin berat. Dia juga mendengar deru napas yang mulai teratur. Perlahan Mahesa mengurai pelukan kemudian membaringkan Valeria.

"Ah!" Mahesa mengeluh karena lehernya terasa panas karena terkena kening Valeria. Dia kemudian mengibas wajahnya yang mulai berkeringat.

"Dia tidur?"

Mahesa menoleh. Dia melihat Eriska datang sambil membawa kopi instan. "Thanks," ujarnya setelah Eriska menyerahkan kopi itu.

Perhatian Eriska tertuju ke wajah Valeria yang masih pucat. "Gue khawatir kondisinya makin buruk," ungkapnya. "Dia nggak pernah mau makan kalau sakit."

"Paksa dia ke dokter," ujar Mahesa sambil menatap Eriska. "Lo nggak mungkin ngebiarin Valeria makin sakit, kan?"

"Dia bakal ngamuk kalau dipaksa." Eriska mengembuskan napas lelah.

Mahesa menatap Valeria. Kening wanita itu terus berkeringat, bibirnya juga masih terlihat pucat. Tanpa suara Mahesa berdiri kemudian mengeluarkan kunci. "Cari mobil gue."

"Ha?" Eriska belum mengerti maksud Mahesa.

"Kita paksa Valeria ke dokter." Setelah mengucapkan itu Mahesa membopong Valeria.

Seketika Eriska paham maksud Mahesa. Dia berjalan keluar, tapi ada Rose yang menghalangi. "Valeria harus ke rumah sakit."

Rose melihat Mahesa yang menggendong Valeria. Kemudian dia menatap kunci mobil yang berada di tangan Eriska. "Biar gue yang bawa. Gue tahu mobil Mahesa," ujarnya seraya merebut kunci mobil itu.

Eriska cukup tercenang. Namun, dia tidak ingin menanyakan itu sekarang. "Gue ikutin kalian dari belakang. Gue ambil kunci mobil dulu."

Diam-diam Mahesa menghela napas berat. Akan lebih mudah jika dia satu mobil dengan Eriska daripada Rose. Ah, andai bisa mendebat dia ingin melakukan itu sekarang. Sayangnya, Valeria jauh lebih butuh penanganan.

"Biar gue yang bawa," ujar Mahesa setelah mendudukkan Valeria di bangku belakang.

Rose segera masuk ke pintu kemudi lantas menyalakan mesin mobil. "Biar gue aja. Lo jagain Valeria di belakang."

Mahesa menggaruk belakang kepala. "Oke kalau itu mau lo." Setelah itu dia duduk di samping Valeria.

Mobil mulai melaju meninggalkan apartemen. Rose mengemudi sambil sesekali melirik ke spion tengah. Andai kondisinya baik-baik saja dia tidak akan mau satu mobil bersama Mahesa dan Valeria.

Mahesa terdiam, merasa canggung satu mobil dengan mantan pacarnya. Dia mengurangi kecanggungan dengan menatap jalanan yang sedikit padat. Dia berharap tidak macet dan membuatnya terjebak satu mobil dengan Rose semakin lama.

"Kita ini ke mana?" Tiba-tiba terdengar suara Valeria.

"Val...." Mahesa bergeser mendekat. Dia menggerakkan kepala Valeria agar menghadapnya. "Pusing?"

Valeria masih memejamkan mata. Dia merasakan guncangan pelan yang membuat kepalanya semakin berdentum. Refleks satu tangannya menyentuh kepala. "Gue mau pulang."

"Kita ke rumah sakit," ujar Mahesa dengan suara pelan.

Rose memilih diam, meski begitu dia mendengarkan. Dia juga melihat wajah Mahesa yang tampak khawatir. "Lo mau mati?"

Mahesa menatap Rose dengan tajam. Sayangnya Rose tidak melirik sedikitpun.

Meski kesadarannya hanya sedikit, Valeria sangat mengenal suara itu. Dia mengembuskan napas pelan kemudian memukul keningnya beberapa kali. "Ngapain ada lo?"

Take Your TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang