TYT-52

1.9K 247 15
                                    

Valeria mencoba untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Namun, semuanya masih terasa berat. Hatinya belum siap menerima. "Misal gue pergi...."

"... lo nggak boleh pergi!" Mahesa langsung memotong.

Senyum Valeria terlihat kaku. Dia menatap langit-langit kamar. Saat ini dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia masih belum tahu harus bersikap bagaimana dan bagaimana cara untuk melindungi hatinya sendiri.

Mahesa menarik tangan Valeria dan menggenggamnya erat. "Lo nggak boleh pergi."

"Orang-orang pasti ngomongin kalau gue deket sama lo. Apalagi kalau mereka tahu latar belakang gue." Valeria sedih membayangkan hal itu akan terjadi.

Hidup Mahesa dan Valeria berbanding terbalik. Mahesa memiliki keluarga utuh dan bergelimang harta. Sedangkan Valeria tidak. Ibunya menjadi istri simpanan dan tidak memiliki kekayaan. Keluarga Mahesa dihormati, sedangkan keluarga Valeria dicaci.

"Lo takut karena omongan orang?" tanya Mahesa setelah jeda agak lama. "Mana Valeria yang percaya diri? Gue yakin lo bisa kayak gitu."

Valeria menggeleng pelan. "Gue nggak pede buat nutupin kekurangan gue."

"Bukannya semua orang kayak gitu, ya?" Mahesa tersenyum samar. "Semua orang pasti ada kurangnya, Val. Makanya ada yang namanya berusaha dan kesempatan."

Mata Valeria terpejam. Dia tidak bisa berpikir jernih. Semuanya terlalu mengagetkan. "Biarin gue sendiri." Valeria menarik tangan Mahesa begitu saja.

Mahesa mengangguk. "Tetep di sini. Kalau ada apa-apa gue di luar."

Tidak ada respons dari Valeria. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar dengan menerawang. Di saat seperti ini, tenggorokan Valeria terasa tercekat dan dadanya diremas kuat.

"Hiks...." Isakan itu kembali terdengar.

Valeria meremas seprei dengan erat. Matanya terpejam lalu air matanya kembali turun. Tenggorokannya mulai terasa sakit saat dia berusaha menahan isakan. "Hiks...."

Di balik pintu, Mahesa mendengarkan isakan itu. Rasanya dia ingin kembali masuk dan menenangkan Valeria. Namun, dia tahu Valeria butuh waktu untuk sendiri. Akhirnya Mahesa beranjak, meski terasa berat.

Semuanya bakal baik-baik aja, Val.

***

"Valeria udah bisa dihubungi?" Eriska menghampiri Rose yang duduk di sofa ruang tengah.

Rose menggeleng kemudian mengecek ponsel. "Nih!" Dia menunjukkan benda persegi panjang itu ke sahabatnya.

Eriska mendekap bantal sofa dan menatap depan dengan pandangan menerawang. "Gue bener-bener khawatir."

"Kan ada Mahesa," jawab Rose. "Mahesa itu perhatian." Dia tersenyum sedih saat mengatakan itu.

"Sekarang bukan waktunya cemburu, Rose."

"Iya, ngerti!" Rose mengambil bantal sofa dan melakukan seperti Eriska. "Gue ngomong apa adanya kok. Mahesa itu perhatian. Dia nggak mungkin ninggalin Valeria gitu aja."

Eriska sedikit lega mendengar penjelasan Rose. Dia tidak bisa membayangkan perasaan Valeria sekarang seperti apa. Di saat perasaan sedang kacau, kita butuh tempat yang nyaman untuk menjernihkan pikiran. Dia khawatir jika Valeria memilih pergi.

"Mahesa juga nggak mungkin biarin Valeria pergi," ujar Rose seolah tahu kekhawatiran Eriska. "Besok kita ke sana lagi."

"Hmm....." Eriska mengangguk. "Lo beneran peduli, kan?"

Rose tersenyum samar. "Kalau gue nggak peduli ngapain gue tanya kabar Valeria ke Mahesa? Lo masih nggak percaya?"

"Gue percaya!" Eriska hanya mengetes. Entahlah, dia percaya dua sahabatnya sebenarnya saling peduli. Hanya saja dengan cara yang berbeda.

Take Your TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang