Hari Senin pagi, Mahesa datang lebih awal. Bukan karena dia ada meeting, melainkan ingin memastikan seorang wanita yang semalam bermalam di hotel. Valeria ikut bersamanya tanpa membawa barang apapun. Wanita itu pasti akan kesulitan jika nanti akan pulang.
Mahesa masuk dari lobi hotel dan melihat seorang resepsionis yang menyambutnya. Dia melangkah menuju lift, tapi ada seseorang yang menghentikan langkahnya.
"Pak Mahesa...."
Langkah Mahesa seketika terhenti. Dia berbalik, melihat resepsionis itu berjalan ke arahnya. "Ada apa?"
"Ini ada titipan dari kamar tujuh ratus delapan." Resepsionis itu menyerahkan sebuah kertas yang terlipat.
Mahesa menerima kertas itu dengan penuh tanya. "Makasih."
"Sama-sama, Pak."
Mahesa berdiri di samping lift dan membuka surat itu. Dia mendapati tulisan tangan rapi dengan nama Valeria yang tertera di bagian belakang.
Hes. Makasih udah nolongin gue.
Gue balik ke apartemen. Gue ngerasa kondisi gue udah baik-baik aja. Oh, ya gue sengaja nulis ini buat jaga-jaga aja kalau lo nyamperin gue ke hotel. –Valeria.
Mahesa melipat kertas itu kemudian memasukkan ke satu. Lantas dia kembali keluar. Dia merasa sedikit lega, karena Valeria baik-baik saja. Lelaki itu kemudian tancap gas menuju kantor.
Beberapa saat kemudian, Mahesa sampai di ruang kerjanya. Belum apa-apa dia sudah mendapat setumpuk pekerjaan yang tergeletak di atas meja. Mahesa sedikit melonggarkan dasinya kemudian mulai menyelesaikannya satu persatu.
"Pak Mahesa...."
Baru saja Mahesa berkonsentrasi dengan pekerjaannya, tapi ada suara yang menginterupsi. "Masuk," jawabnya sambil mengangkat wajah. Dia tersenyum masam saat melihat Diraz. "Bagus datang lebih pagi," sindirnya karena Diraz sering terlambat.
Diraz duduk di hadapan Mahesa. "Boleh bicara masalah pribadi?"
Mahesa refleks meletakkan pulpen yang dia pegang. Dia menutup berkas di hadapannya kemudian membalas tatapan Diraz. "Datang pagi-pagi buat ngomongin masalah pribadi?"
"Ya," jawab Diraz santai. "Karena Pak Mahesa yang cukup sibuk, jadi saya harus mencari waktu senggang Bapak."
"Apa?" tanya Mahesa to the point.
"Saya cuma mau mengingatkan saja, jangan sampai Valeria menyakiti Rose."
Mahesa menahan tawa. Dia duduk bersandar sambil memperhatikan lelaki berkemeja tanpa dasi di depannya itu. "Peduli banget, ya, ke pacarnya sampai minta itu ke saya."
Diraz mengangguk. "Saya peduli ke Rose. Bahkan saya lebih peduli daripada Bapak."
Rahang Mahesa mengeras. Diraz selalu menjadikan itu sebagai bahan untuk membalas kalimatnya. "Ya anggap saja kamu memang lebih peduli."
"Harus," jawab Diraz. "Saran saya, kalau sayang sama Valeria harus lebih peduli. Takutnya dia kabur."
Mahesa tanpa sadar mengepalkan tangan. Dia membuang muka sambil mengatur napasnya yang mendadak memburu. Setelah mengucapkan itu, Mahesa menggerakkan tangan meminta Diraz meninggalkan ruangan.
Diraz berdiri. Dia menatap Mahesa yang terlihat enggan menatapnya itu. "Pak Mahesa ingat waktu Rose berjanji akan selalu di samping saya?"
Tidak ada respons dari Mahesa. Dia tetap membuang muka. Setelah melihat Diraz keluar, Mahesa mengusap wajah. "Sial."
***
Tujuh bulan lalu.
Mahesa keluar dari ruang meeting dengan langkah tergesa-gesa. Dia menatap arloji yang telah menunjukkan pukul sepuluh. Dia telat dua jam dari janji yang telah ditentukan. Firasatnya mengatakan, Rose akan marah besar. Pasalnya, selama sebulan ini mereka jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Your Time
Romance[TAKE SERIES 1] Valeria tidak menyangka akan terjebak di antara Rose mantan sahabatnya dan Mahesa mantan Rose. Valeria yakin, Mahesa mendekatinya karena ingin balas dendam ke Rose. Awalnya Valeria tidak mau berurusan dengan Rose atau Mahesa lagi. Na...