TYT-37

1.8K 266 45
                                    

"Gue pacaran sama Diraz karena dia bantu gue. Gue ngerasa nggak pantes deket lo."

"Apa yang bikin lo ngerasa nggak pantes deket gue?" Mahesa menatap Rose tajam. "Jangan sembunyiin apapun dari gue, Rose!"

Perlahan Rose melepas genggaman. Dia membuang muka, menatap tembok putih yang terlihat dingin itu. "Lo punya segalanya."

"Pikiran lo cuma sampai situ?" tanya Mahesa tidak percaya. "Lo tahu gue nggak pernah mandang orang dari hartanya?"

Rose mengangguk pelan. "Gue takut jadi pasangan yang payah buat lo." Dia menatap Mahesa dengan mata berlinang. Hari ini datang terlalu cepat, bahkan Rose sebenarnya belum siap mengungkapkan semuanya.

"Rose...." Tiba-tiba terdengar suara lain.

Mahesa menoleh dan mendapati Diraz. Rahangnya semakin mengeras melihat lelaki yang masih menjadi pacar Rose itu. "Lo juga tahu soal ini?"

Diraz mendekat. Dia memperhatikan Rose yang terlihat begitu sedih. Tanpa bertanyapun dia tahu, pasti rahasia itu telah terbongkar. "Gue udah tahu dari awal."

"Kenapa lo nggak ngasih tahu gue?" Mahesa seketika mendekat dan menarik krah kemeja Diraz. "Lo nyari kesempatan?"

Tangan Diraz menarik tangan Mahesa. "Gue sayang ke Rose."

Pandangan Rose tertuju ke Diraz. Lelaki itu banyak membantunya dan mencintainya. Selama ini Rose bisa bercerita ke Diraz. Namun, di satu sisi dia merasa berkhianat. "Ini semua salah gue."

Mahesa menatap Rose yang menangis tersedu-sedu itu. "Semuanya nggak akan rumit kalau lo terbuka, Rose."

"Jangan salahin Rose," ujar Diraz cepat. "Apa lo udah jadi cowok peka dan tahu apa yang terjadi sama Rose meski dia nggak ngasih tahu?"

Kedua tangan Mahesa terkepal. Dia menyadari dia kurang peka kepada pasangannya dulu. "Sial!" Mahesa menendang tembok di dekatnya.

Diraz kasihan melihat Mahesa yang frustrasi itu. "Selama ini gue pura-pura jahat ke lo, atas permintaan Rose," ujarnya sambil menatap wanita yang berbaring di ranjang. "Gue bantu lindungi Rose. Gue tahu apa yang ditakuti Rose."

Mahesa mengacak rambutnya frustrasi. Lantas menatap Rose dan Diraz bergantian. "Kalian sukses bodohin gue," ujarnya. "Gue emang bener-bener bodoh."

"Hes...." Rose mengulurkan tangan hendak menggapai. Namun, dia harus menelan pil pahit saat Mahesa justru bergerak mundur. "Mahesa, please."

"Gue nggak tahu harus ngomong apa." Mahesa seketika berbalik dan berlari menjauh. Pikirannya benar-benar kacau. Sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia merasa bersalah, tapi dia juga marah karena dibodohi.

Di ruang IGD, Rose menangis dalam diam. Sebenarnya dia tidak ingin berakhir seperti ini. Dia ingin semuanya baik-baik saja. Namun, kebohongannya membuatnya semakin rumit.

"Rose." Diraz memeluk Rose. "Gue bakal di samping lo."

"Gue jahat, Raz!" ungkap Rose. "Gue nyakitin lo. Gue nyaktin Mahesa. Gue nyakitin orang-orang karena gue nggak mau disakiti. Tapi gue makin sakit."

Diraz mengeratkan pelukan. "Tenangin diri lo."

Rose terus menangis. Duri yang dia keluarkan menyakiti orang-orang yang dia sayang. Bahkan duri itu menyakitinya, hingga begitu dalam. Rasanya Rose tidak sanggup menjalani apa yang ada di depannya. Semuanya terlalu menyakitkan.

***

Rose: Mbak, saya cuma mau mengabari Mbak yang punya nomor ini pingsan dan akan saya bawa ke rumah sakit.

Take Your TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang