Dean pov.
Aku duduk dibawah air shower dan kini berfikir keras bahwa aku harus melupakan kejadian semalam.
"Ayolah, itu bukan sebuah kejahatan kalau pergi mengencani seseorang kenapa harus menatapku dengan perasaan bersalah."pikirku kesal karena aku harus mengingat ekspresi terakhir ayah.
"Kalau tahu itu salah kenapa harus melakukannya?"pekikku menyayangkan kenapa diriku harus membuang tenaga dan berteriak semalam.
"Pasti sangat bengkak," aku meraba kantung mataku disana. Memang terasa berisi dan itu pastinya terlihat mengerikan.
Kini aku merebahkan diriku diatas lantai kamar mandi sembari menatap langsung keatas. Air shower jatuh tepat diwajahku.
"Sebuah kotak kecil, berwarna merah muda bergambar strobery, seorang wanita acak-acakan menyambutku." Membayangkannya kembali membuatku menggelengkan kepalaku cepat. Aku bukan pria bodoh tetapi aku tahu apa yang mereka lakukan kenapa harus berbohong.
"Katakan saja, dia kekasihku."Urusannya beres kenapa harus pura-pura jadi malaikat. Aku masih tersenyum disana.
"Bahkan Adam mengorbankan semuanya, mempermalukan dirinya sendiri saat berada dimeja kasir, bahkan? Ayolah muntahan itu menjijikan sekalipun itu adalah muntahan seorang bayi. Kenapa harus bersikap baik-baik saja. Aku lebih suka dia mengumpat."Aku masih bicara sendiri dengan diriku. Mengulas kembali kebodohanku serta menertawakan orang-orang disekitarku yang mencoba yang terbaik untuk menolongku.
"Aku hanya butuh tali untuk melilit tenggorokanku, apa kalian bisa memberikannya untukku."Menatap air yang membuat mataku perih. Kalau saja yang jatuh adalah pecahan kaca mungkin aku akan merasa lebih baik.
Sungguh aku merasa penat untuk menilai semuanya. Apa perlu aku bilang kalau ibu kini bisa saja mendapatkan rangking karena ayahkulah yang ternyata menjadi pembohong. Sembari memberikan piala oscar kepada ibuku dengan penghargaan sebagai wanita teraniaya dan membuat pilihan yang tepat.
"Selamat ibu, karena kamu menikah lagi dengan pria baik jadi kamu bisa tersenyum mengolok mantan suamimu."Aku menggigit kuku jempol tanganku dan masih meminta airmataku jatuh kembali. Karena rasanya kering dan perih.
"Ayah, kamu sangat keren. Melihatmu membawa pria kecil yang terus menjilat lehermu membuatku ingin bertanya? //Apa itu sungguh menyenangkan. Tidak cukupkah bermain-main dengan wanita bahkan teman satu kelasku kamu ambil juga. Ayah, aku akan bicara padanya saat sampai disekolah nanti. Bertanya apa semenyenangkan itu//" dan praktisnya aku ingin melakukannya juga. Sebagai panutan harusnya tahu kalau putra yang baik akan menirukan semua sikap yang tak hanya baik yang tak pantaspun akan menjadi salah satu note untuk arahan hidup. Baiklah aku akan kembali dengan penilaianku kali ini.
Dan sepertinya aku harus ikhlas mendapat nilai merah karena terus berusaha menutup mata atas kejahatan ayahku. Bahkan Nathan dengan lantang memperingatiku. Aku tak bisa berfikir jernih saat ini dan akupun tidak mau membuat keputusan untuk membenci seseorang.
"Aku bukang anak durhaka, sudah sering aku mengolok ibuku yang jelas surga ada ditelapak kakinya. Tapi aku tak takut dan terus mengumpat. Dan kini aku masih tak ingin dikutuk jadi batu,"aku menoleh sejenak karena mataku sudah mulai perih. Melihat air mengalir ketempat yang paling rendah.
"Air saja tahu dimana dia harus berakhir."Aku tersenyum tipis.
Yang sudah terjadi biarlah dan kini kuputuskan untuk pergi berjalan maju. Walau itu sulit aku pasti bisa melewatinya.
"Aku tidak pergi untuk melarikan diri. Aku sudah cukup untuk menyakinkan diriku sendiri."aku menepuk dadaku kasar. Rasa sesak itu ingin kurasakan kembali, dimana kerongkongan itu tertarik dan dadaku terasa tertusuk pisau belati yang tajam. Aku tidak ingin ditolong karena memang aku tidak sedang minta pertolongan. Aku ingin lepas dari rasa yang mencekik diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
akward (bxb) End 20 Jan 2021/ 23 Feb 2021
HumorPeople who understand us are people who have experienced the same pain. There's Dean, a little man who is struggling to overcome the psychological problems that occur as a result of his parents' separation. Tristan who must face the reality of the b...