35.

150 32 0
                                    

Vote nya ya sayang......

Untung aku masih menemukan toko kue jadi aku kini pulang dengan membawa kue dipangkuanku. Tristan hanya diam, apa mungkin dia masih memikirkan tentang dirinya perlu menghilang. Hey, ayolah kenapa harus memikirkan apa yang dikatakann ibu. Dia saja menelantarkanku dulu kenapa harus mendengarkan omongannya.

"Apa itu sakit?" tanya Tristan lalu memegang punggung tanganku. Menggosoknya pelan dan dia menatapku. Mungkin dia merasa gelisah dengan beberapa catatan medisku. Atau bahkan dia sedang merasa tak enak karena aku melihat apa yang dilakukan om padanya. Asumsiku karena aku tak mungkin bertanya padanya. Dia punya privasi dan aku hanya perlu menunggu apa yang ingin dia bicarakan padaku. Kalau Tristan nyaman denganku dia akan membagi semuanya padaku.

"Ha," aku tidak mengerti. Aku memang tak perlu menceritakan masalahku. Toh kenapa harus membebani orang lain, karena kupikir orang lain juga pasti punya masalahnya sendiri. Seperti Tristan, tidak kupungkiri dia itu sangatlah keren. Melihat apa yang dilakukan om padanya dia tidak melarikan diri dan sadar dia bisa saja mati kapan pun. Tapi seolah-olah dia tahu om butuh dirinya untuk sadar akan sakitnya. Tinggal menunggu waktu, om sembuh melupakan penderitaannya atau Tristan akan berakhir menyerah.

"Apa kamu sesakit itu?" tanya Tristan lagi. Dia nyatanya ingin menanyakan tentang kondisiku berarti rasa gelisahnya karena dia tidak yakin dengan apa yang harus aku terima bila episode kritis penyakit yang kuderita sampai menimpa diriku. Ya aku memang menyimpan bom waktu dalam diriku. Semua diet yang kulakukan demi mengurangi resiko. Aku sudah bertahan selama 16thn hidupku dan aku tidak akan menyerah hanya karena keluargaku berantakan. Karena disini aku seolah mendapatkan harapan baru dimata Tristan bahkan genggamannya mampu membuat jantungku berdebar.

"Hanya tidak boleh terkena benda tajam, terjatuh apalagi cuaca dingin seperti ini. Jadi kamu tidak perlu memikirkannya aku bisa menjaga diriku sendiri." aku tegas karena aku tidak mau dikasihani. Melihat tatapan sedih orang yang melihatku sakit itu sanggup membunuhku apalagi mereka melihatku dengan rasa kasihan. Ingatkan saja terus kalau aku memang hanyalah beban bagi orang-orang yang ada disekitarku jadi aku bisa menjaga sikap.

"Maafkan aku Dean, mungkin kalau tadi tidak ada Nathan aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri bahkan aku tidak bisa menatap matamu lagi karena akulah yang memecahkan vas tadi," Tristan sedang meminta maaf karena dirinyalah yang membuat benda tajam berserakan dilantai dan akupun hampir jatuh diatasnya. Itu bukanlah hal serius, kalaupun akhirnya aku terjatuh aku hanya akan berakhir seperti Nathan penuh perban cuman hanya butuh beberapa waktu sampai aku boleh melepas perbannya.

"Kenapa harus minta maaf kak, aku tidak apa-apa karena sudah terjadi kakak tidak perlu bertengkar lagi dengan Nathan. Walau dia sangat provokatif tetapi dia memang ingin banyak orang ada disekitarnya." aku memberitahu Tristan kalau selama ini Nathan memang kesepian. Dia tidak pernah mendapat dukungan dari keluarganya bahkan satu-satunya yang mengerti dia malah pergi untuk selama-lamanya. Semakin banyak yang mendekatinya dalam artian ingin menyerang Nathan malah terlihat bahagia.

"Ya ampun manisnya Deanku ini," Tristan malah mengusap pipiku dan dia masih tersenyum kearahku. Jantungku makin berdegup kencang mungkin saja pipiku sudah berwarna merah tomat dan aku tidak bisa berbohong kalau pria yang ada disampingku sangatlah tampan. Dia blesteran matanya sipit dengan hidung yang mancung, pipinya tirus dengan matanya yang tajam dan bibirnya terlihat pucat basah.  Buah adamnya terlihat sangat menonjol menambah kesan sensual yang membuatku sangat terpesona.

"Dean, arghhhhh sadarlah!!!" aku mengumpati diriku yang malah membayangkan hal yang tidak-tidak terhadap pria tampan disampingku. 

"Kalau ada yang kakak mau ceritakan pada Dean, Dean siap mendengarkannya. Jadi lain kali kalau om memukul kakak lagi, kakak bisa melapor padaku nanti biar Dean yang memarahinya," cengirku sembari memainkan jemariku membentuk tanda perdamaian tanda aku tidak begitu yakin sebenarnya cuman aku ingin Tristan tahu aku sungguh-sungguh dan memang aku tidak mau Tristan akhirnya jengah dan membenci orangtuanya. Ayolah seberapa buruk orangtua dia tetap orangtua dia pernah muda dan tahu menjadi tua itu sangatlah sulit.

"Memang Dean berani?' tanya Tristan dan seolah -olah dia meragukan tindakanku. Dia mengerutkan dahinya tetapi masih memasang senyuman untukku. Seolah-olah ada kupu-kupu memenuhi perutku dan memaksa ingin keluar.

"Ayolah, aku tidak takut. Buktinya om sangat mendukungku tadi, jadi.....?" aku ingin menanyakan perihal tentang apa yang tadinya dibicarakan om. Aku memang mulai menyukai Tristan. Dan aku akan berjuang untukknya. Tapi tidak yakin tentang Tristan menyukai juga. Jadi apa yang harus aku lakukan?

"Oh, kita sudah sampai," Tristan buru-buru keluar dan kini memilih membukakan pintu mobilnya. Mungkin aku terlalu cepat untuk memintanya melihatku jadi kupikir mending aku mengikutinya perlahan-lahan sehingga Tristan menyadari kalau aku berada disekitarnya. Apa itu perlu? Aku sudah dapat dukungan kan, jadi apa yang aku tunggu.

Jadi aku memilih tidak membahasnya lagi sampai......

.........

Pagi menyapa, sinar matahari masuk dibalik jendela kaca kamar Nathan. Aku semalam memilih tidur dibawah tapi sekarang aku malah berada diatas ranjang. Siapa yang membawaku keatas? Karna kulihat Adam masih tidur dibawah bersama Tristan. Keduanya masih meringkuk menyelesaikan mimpinya. Aku menggeser tubuhku dan nyatanya aku menabrak seseorang dan langsung berbalik untuk melihatnya.

"Hey sudah bangun?' tanya Nathan dia tersenyum padaku. Telapak tangan kasarnya mampu merobek kulit pipiku. Dia seperti tukang jagal, bagaimana bisa dia punya tangan sekasar itu?

"Kenapa aku sampai disini?" tanyaku lagi tanpa aku menjawab pertanyaannya. Lagi pula kenapa aku harus aku menjawabnya karna dia pasti sudah tahu mataku terbuka lebar dan aku tidak sedang mengigau.

"Tristan yang memindahkanmu. Hmmm....," Nathan merapikan poni rambutku dan masih menatapku. Aku tahu hal gila yang ada dipikirannya. Bagi pria yang nampak keren dihadapanku ini siapapun pasti akan mudah tergoda. Mulutnya memang sangatlah manis jadi orang yang baru mengenalnya pasti mudah tergoda. Karena aku tahu Nathan itu seperti apa dan siapa yang buat dia tertarik jadi pastikan saja kalau punya perisai agar tidak jatuh dalam perangkapnya.

"Apa dia tidak menyukaiku karena aku seperti babi, Kenapa dia tidak tidur disampingku saja dan memilih memindahkanku?' tanyaku lagi dan Nathan malah mencubit hidungku. Hey, mau bagaimanapun caramu menggodaku aku tahu kamu cuman main-main jadi jangan bergurau karena aku merasa ini penting untuk dibahas.

"Mungkin dia sangat terkejut. Kamu seorang pria dan dia seorang pria. Kalau saja kamu sukanya ke aku dan menyatakan rasa sukamu padaku sepenuh hati seperti semalam lain ceritanya mungkin aku akan menciummu....chuuuuu," Nathan tiba-tiba memanyunkan bibirnya dan membuatku kaget dan tersentak. Aku berbalik tiba-tiba aku lupa aku berada ditepian kasur dan hampir jatuh tapi Tristan menahanku. Padahal yang tepat dibawahku adalah Adam. Tapi kini Tristan menangkapku dan aku selamat bahkan Adam terlihat bingung.

"Yakkkkkkk!!!' teriak Tristan karena dia berhasil menangkapku. Adam langsung menggeser tubuhnya mencoba segera mungkin mengembalikan nyawanya agar lekas tahu apa yang baru saja terjadi.

"Oho, aku hanya menggodanya tidak lebih. Simpan tatapanmu itu, ayam tetangga bisa terkena serangan jantung," Nathan meminta maaf karena dia hanya menggodaku tapi ternyata Tristan benar-benar marah tak suka dengan lelucon Nathan lagi dan kini Tristan malah membawaku keluar kamar Nathan tanpa membiarkanku berjalan sendiri. Dia masih menggendongku dengan gendongan bridalnya. Aku merasa diatas langit walau sebenarnya aku sangat merasa rendah diri. Bagaimana aku bisa menyakiti lengannya karea bobot tubuhku yang sangat-sangat tidak etis. Aku hanya setinggi 158 dengan bobot 60. Aku sangat berat dan jangan bandingkan dengan barbel yang biasa digunakan untuk olahraganya Tristan. Ini jauh beda.

"Turunkuan aku!!" pintaku dan aku melompat tiba-tiba saat Tristan masih diambang pintu.

"Nanti terluka!" matanya memang sangatlah tajam. Karena aku bergerak cepat aku hampir terbentur pintu dan Tristan dengan sigap memindahkanku. Untung saja, gak lucu kalau pergi kesekolah dengan kepala benjol. Tapi dengan merasakan perlakuan Tristan seperti ini padaku tak perlu mengatakan mencintaiku menyayangiku aku tahu dia menginginkanku.

"Aku akan memesankan makanan Dean mau apa?" tanya Tristan dan kini aku akan memesan menu diriku seperti biasa.

"Kakak bisa menambahkan apa yang kakak suka, aku biasa makan itu setiap waktu." aku meyakinkannya kalau aku tidak menderita dengan menu dietku. Tapi aku sadar siapapun yang melihatku dia akan merasa iba. Harus sumber protein utuh dengan susu rendah lemak.

......

akward (bxb) End 20 Jan 2021/ 23 Feb 2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang