7. Perkara Lari Pagi

19.2K 2.7K 20
                                    

Genap satu bulan Panji berada di rumah yang Arfan pinjamkan.

Benar kata Riza, panji adalah laki-laki yang pintar, tidak sulit melepas Panji untuk melewati hidupnya di lingkungan baru. Bahkan laki-laki itu sekarang sudah pandai menyesuaikan diri.

Panji merawat rumah Arfan dengan sangat baik. Beberapa bagian yang mengalami kerusakan mampu dia perbaiki sendiri.

Hari ini, Shalika sengaja datang pagi-pagi untuk mengajak Panji sarapan bersama, perempuan itu keluar dari mobilnya, lalu cepat-cepat berlari ke arah pintu.

"Assalamualaikum." Serunya sambil mengetuk pintu pelan.

Tok... Tok... Tok!

"Panji?! Ini aku Shalika, buka pintunya dong."

"Ke mana sih, nggak biasanya lama begini." Gumam perempuan itu dengan sedikit gusar.

Tidak sabar menunggu, Shalika mengambil ponsel di dalam tas, berniat menghubungi laki-laki itu lewat telepon.

"Shal," Shalika terperanjat, kemudian mendongak saat Panji sudah berdiri tegap di depannya.

"Loh, Nji. Kamu dari mana?" Tanya perempuan itu sambil meneliti tampilan laki-laki di hadapannya.

Celana kain pendek berwarna hitam dan kaos polos putih melekat pas di badan Panji. Ada bekas keringat di kening laki-laki itu, membuat Shalika menatap heran.

"Aku abis lari pagi keliling komplek." Shalika melotot.

"Lari pagi? Aku nggak salah dengar?"

"Kenapa sih? Aku nggak boleh ya lari pagi?"

"Emm.. Bukan, bukan gitu. Boleh kok, boleh banget malah! Aku senang kamu banyak kemajuan." Perempuan itu sontak tersenyum lebar.

Namun tidak lama senyumnya pudar, seorang perempuan mengenakan kaos ketat dan celana super pendek dengan lancang berlari ke arah Panji.

"Mas Panji, besok kita lari pagi bareng lagi ya." Ujar perempuan itu dengan centil membuat Shalika melotot.

Panji mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Laki-laki itu sepertinya tidak nyaman dengan kehadiran perempuan tadi.

"Kalau mau, besok sekalian sarapan bareng di warung bubur depan komplek, aku yang traktir deh!" Ucapnya lagi membuat Shalika semakin jengah.

"Heh! Centil banget jadi orang." Gertak Shalika tanpa basa-basi.

"Ada masalah? Lagian gue heran, tiap ada cowok bening pasti ada lo di sampingnya. Jangan sok kecakepan!" Balas perempuan itu.

"Dasar perempuan nggak tahu malu! Lo yang sok cakep." Seru Shalika galak membuat Panji terkejut.

"Gue emang cakep, kembang di komplek ini." Ujar perempuan itu sombong.

"Idih, kembang bangkai! Cantik kali lo." Cibir Shalika tidak mau kalah.

Tatapannya terlihat sengit, takut memancing keributan, Panji sontak melerai keduanya.

"Udah stop, malu dilihatin tetangga." Panji menarik pelan tangan Shalika demi memberi jarak kedua perempuan itu.

"Dia cari gara-gara duluan, Nji." Tegas Lika.

"Gue nggak cari gara-gara. Gue cuma mau nawarin mas Panji sarapan di rumah." Protes perempuan itu lalu menarik Panji.

"Nggak perlu! Gue juga udah bawain sarapan buat Panji. Jangan sok baik deh cewek licik."

"Udah Shal, masuk yuk. Maaf ya Prima, aku sama Shalika masuk dulu." Panji melepas pegangan Prima di tangannya.

Not a Crazy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang