21. Pagi Yang Panjang

27.4K 2.7K 52
                                    

Shalika membuka mata pelan, perempuan itu bahkan tidak sadar, menangis entah berapa lama hingga akhirnya ketiduran.

Dia menatap sekeliling, lalu beranjak duduk bersandar di kepala ranjang.

Pikirannya kacau, ada rasa kecewa dengan apa yang sudah Panji lakukan, namun perempuan itu juga merasa bersalah mengusir suaminya dari kamar, dan entah di mana Panji tidur sekarang.

Lika menatap jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Sejenak merenung, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

'Tidak ada salahnya sholat tahajud.' Ujarnya dalam hati.

Lika keluar dari kamar, berjalan ke tempat ibadah yang khusus Panji buat. Seperti mushola kecil tepat di samping ruang keluarga.

Langkah kaki perempuan itu terhenti ketika melihat Panji memakai sarung di ruang ibadah.

Shalika tidak sempat menghindar karna laki-laki itu sudah lebih dulu menyadari kehadirannya.

"Lika," Panggil Panji sembari mendekat.

"Mau sholat juga?" Pertanyaan itu mengalun lembut di telinga Shalika, membuat matanya terasa panas.

"Kamu duluan aja." Seru Lika sambil membalikkan tubuhnya ingin pergi.

"Kenapa nggak barengan aja?" Tanya laki-laki itu pelan, jujur butuh keberanian besar Panji mengungkapkan ajakannya.

Shalika menoleh, matanya menatap ke arah Panji yang membuka lemari kecil di pojok ruangan, laki-laki itu mengeluarkan mukena putih dari sana.

"Pakai ini, kita sholat bareng-bareng." Panji tersenyum sekilas lalu membalikkan badan menghadap kiblat.

Shalika semakin kacau, dia ingin sekali memeluk punggung tegap laki-laki di hadapannya. Lika tahu, Panji tidak punya maksud buruk dengan ucapannya beberapa jam lalu. Apa aku yang terlalu berlebihan memberi respon?

"Udah siap." Tanya Panji sembari menoleh.

"Udah," Jawab Lika lirih dengan suara sedikit tertahan.

Panji memulai takbir pertamanya, Lika mengikuti laki-laki di depannya dengan khusyu'

Suasana kembali canggung saat sholat selesai, Panji mengulurkan tangan kanannya ke arah Lika. Perempuan itu mendadak gugup, tapi dengan cepat menyalami tangan sang suami dan menciumnya.

Dua kali Shalika melakukan itu, setelah ijab qabul kemarin, dan hari ini.

Panji menggenggam tangan Lika dengan erat, membuat sang pemilik berusaha melepas.

"Aku mau kembali ke kamar," Ujar Lika, Panji tampak abai. Dia menatap mata sembab sang istri dengan tatapan penuh sesal.

"Kamu nangis sampai ketiduran?" Lika terdiam, dalam hati merutuki pertanyaan konyol sang suami. Kalo udah tahu, ngapain nanya!

"Maaf untuk yang semalam." Panji tidak tahu harus berkata apa lagi, kemarahan Shalika saat ini adalah hal yang wajar dan bisa laki-laki itu maklumi.

"Aku marah karna kamu justru percaya sama omongan orang lain, kamu seolah langsung membenarkan fitnah itu tanpa berusaha mencari tahu aku orang seperti apa." Sarkas Lika dengan tatapan penuh luka

Panji menelan ludahnya susah payah. Dalam hati ingin menjelaskan semuanya, tapi seperti yang bisa laki-laki itu lihat, Lika butuh waktu untuk menenangkan pikiran.

"Kapan Redo mengatakan itu pada kamu?" Tanya perempuan itu, demi memecah keheningan yang terjadi beberapa saat.

"Mungkin beberapa hari sebelum aku pergi ke rumah kamu, untuk meminta restu pada ayah." Jawab Panji pelan.

Not a Crazy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang