Prolog

188 14 3
                                    

Dengan terpaksa mata ini harus terbuka menyambut langit kelam dengan genangan air, jejak hujan yang kini tinggal kenangan. Jam 07:20 langkah kaki ini berjalan di atas aspal basah akibat hujan, sisa hujan tampak masih turun perlahan dari langit jaket abu-abu menutupi kulit menghalang dingin serta sentuhan air hujan.

Barus saja beberapa langkah menjauh dari rumah tempat ku beristirahat semalam, sebuah mobil putih berhenti tepat di depan ku menghalangi langkah tujuan, dengan pikiran yang berat ku langkahkan kaki ini mencari jalan lain namun, suara seorang wanita dengan kaca mobil yang terbuka menghentikan langkah ku.

Sosok wanita berusia 30-an dengan jilbab merah tengah duduk di kursi kemudi pandangan pertama yang kulihat adalah seorang pria berkulit putih dengan wajah yang di tutupi masker hitam, ia duduk tepat di depan ku. Setelah menunjukkan alamat yang di tanyakan wanita itu manik mata ku beralih dengan barang bawaan yang cukup banyak di kursi belakang.

Saat itu tatapan ku dan pria itu bertemu sekilas, dan aku juga tidak terlalu peduli selepas mobil itu melaju pergi langkah kaki kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Wajah seorang wanita menyambut kedatangan ku.

"Air di rumah habis, pergilah ambil air terlebih dahulu," kalimat itu menjadi awal di pagi hari ku.

Acuh tak acuh ku letakkan jaket di atas sofa beralih mengambil dua galon biru, langkah ku berlanjut di depot air milik keluarga yang jaraknya cukup dekat dari rumah, hanya butuh 50-60 langkah untuk sampai di sana.

Dengan pesawat sederhana yang berupa gerobak kuning dan dua galon biru di atasnya aku berjalan menyusuri lorong menuju rumah. Di tengah perjalanan langkah ku terhenti sejenak untuk menikmati rintihan hujan di bawah langit yang mulai memberi matahari kesempatan tuk bersinar.

Ku congakkan kepala ku memberi kesempatan pada langit untuk membasahi pipi yang kini mengering di waktu yang bersamaan mobil putih yang sama lewat. Tampak seseorang yang acuh secara sekilas melihat cara sederhana ia bersyukur akan nikmat yang tuhan berikan padanya meski, hidupnya sering di timpa cobaan.

Sesampainya di rumah gadis bernama Dela itu kini bersiap-siap untuk menunaikan tugasnya sebagai pelajar, senyum teman sedari SMP menyambut dirinya kaki jenjang tinggi gadis itu berlari tuk menggandeng Dela berjalan bersama menuju kelas.

Hidup terasa begitu singkat saat bersama dengan orang-orang yang membuat kita nyaman, itulah yang Dela rasakan saat bersama dengan Alea gadis rambut panjang hitam legam, anak paskib di umur 15 tahun. Ia dan Alea beda setahun akan tetapi, mereka di pertemuan oleh takdir dengan alur yang indah.

Alea sekolah lebih cepat sehingga membuat mereka bisa bertemu di bangku SMP dan hingga sekarang mereka menjadi teman akrab bahkan amat dekat.

Saat jam istirahat tiba ini adalah jadwal kedua yang ia suka setelah olahraga. Hari ini tepat jam 10:00 perjalanan mereka dari kantin menuju kelas tertunda akibat kerumunan adik kelas yang berdiri di lorong sekolah depan ruang guru.

Dela mulai menggerutu melihat kerumunan adik kelas yang menghalangi jalan mereka, gadis itu mulai mengambil ancang-ancang untuk memporak-porandakan kerumunan.

"Apa yang ingin kau lakukan?"

"Menurut mu?!"

"Jangan menabrak mereka semua kalau ada yang terluka bagaimana? Kita berputar saja, yah?"

"Tidak, aku tak ingin mengalah lagi tadi saat mengambil makanan aku sudah banyak bersabar kemarin saat mereka menyerobot antrian aku juga sabar tapi sekarang tidak ada kata sabar untuk mereka," ucap Dela berlari menabrak kerumunan murid-murid.

Bak susunan domino tubuh mereka satu persatu jatuh. Senyum bangga terpampang di wajah Dela untuk Alea lalu dengan cepat berubah sinis saat terdengar sayup suara protes dari adik kelas.

Goresan tinta TAMAT✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang