Genta baru saja pulang dari kegiatan mengajarnya di salah satu sekolah dasar. tungkainya berjalan letih. punggungnya sakit bak tertimpa ribuan beton.
tubuh semampai itu berjalan memasuki gerbong biasa dan duduk di tempat yang sama seperti hari-hari sebelumnya.
tapi ada yang tak sama untuk sekarang dan selamanya, ada satu yang kurang. kursi di hadapannya kini kosong melompong.
tanpa lelaki berpakaian coklat khas tentara yang selalu membawa senapan panjang di punggungnya.
tanpa lelaki yang senantiasa melirik ke arahnya dengan malu-malu. tanpa lelaki yang selalu tersenyum manis sebelum berpisah dari gerbong.
yang paling utama, tanpa lelaki yang telah membuatnya tau bagaimana manisnya cinta dan bagaimana pahit dan perihnya cinta itu sendiri.
"Hattala. raga mu telah kembali ke bumi, jiwa mu telah beristirahat dengan tenang. maka tolong aku untuk bangkit dari keterpurukan ini." lirih Genta.
mata indah itu berembun. siap menumpahkan pasokan air mata yang selama beberapa minggu ini telah ia tahan sekuat tenaga.
"aku tidak ingin menyalahkan siapapun atas kematian mu. karena seperti yang kau bilang, kematian itu mutlak adanya. maka sejauh apapun kita berlari jikalau hari itu kita mati maka kita akan tetap mati."
air mata turun, mengalir bak sungai kecil di pipi coklat itu. hatinya sakit bak tertusuk ribuan bambu runcing.
"kau tahu apa yang lebih sakit dari tertusuk besi? merasa rindu kepada orang yang telah tiada. itu jauh lebih sakit dan perih." isak Genta.
tangan kecil itu menangkup seluruh wajahnya dan mulai menangis dengan kencang yang membuat siapapun mendengar akan ikut turut dalam kesedihan.
"jika memang kita ditakdir-kan bersama. aku harap, kita benar-benar akan bertemu lagi dengan takdir yang lebih baik." lirih Genta.
Hattala tersenyum kecil saat melihat malaikat manisnya begitu terluka karena dirinya, hatinya turut merasa tercabik.
"Gentala." panggilnya pelan.
membuat Genta mengangkat wajah berantakan itu terkejut. netranya melebar saat melihat pria yang tengah duduk dan tersenyum di hadapannya.
bibir tebal itu merekah membentuk kurva indah bak bunga dahlia, keindahan yang membuat Gentala merana.
"kau tau apa ujung dari mencintai?"
"cinta itu tak berujung." balas Genta pelan.
pemuda berseragam coklat itu terkekeh di tempatnya. "cinta itu berujung Genta. dan ujung dari mencintai seseorang adalah merelakan."
"bagaimana aku bisa rela jika kau pergi secara tiba-tiba." sambar Genta pelan.
"jika berbicara tentang rela. maka aku pun tak akan pernah rela untuk meninggalkan mu dan ibuk untuk selamanya. hati ini tak akan pernah rela Genta." kata Hata pelan.
"lalu mengapa tidak bertahan?" tanya Genta pelan. hanya untuk hari ini. ia akan mejadi manusia paling egois di dunia.
Hattala terkekeh. lalu melirik ke arah pemuda manis di hadapannya. "ini takdir ku. dan tidak ada yang bisa mengelak takdir."
Genta diam seribu bahasa. ia mungkin terlalu rindu dan lelah sampai-sampai rasanya Hattala begitu nyata di hadapannya.
"tapi hati ku sakit." lirih Genta.
"ini tidak akan lama, percaya pada ku." ujar Hatta yakin.
Genta mengangguk pelan. meyakinkan dirinya atas perkataan Hatta tadi. ini tidak akan lama.
"maka dari itu, sampai bertemu di kehidupan selanjutnya. di gerbong yang sama, di jam yang sama saat kita sampai ke tujuan dengan takdir yang lebih baik" lirih Hatta.
pemuda tampan itu perlahan memudar dalam pandang, namun samar-samar masih ia dengar cicitan dari sang tentara.
"maka sambutlah aku dalam pelukan kerinduan yang hangat" bisikan terakhir yang bisa Genta dengan karena setelahnya hanya bunyi rota besi yang beradu dengan rell yang terdengar.
tangis yang sempat berhenti itu kini tumpah ruah kembali, untuk ke sekian kalinya, Gentala runtuh atas perkataan Hattala, sang sersan muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juwita Malam Season 2 [TELAH TERBIT]
FanfictionTak banyak yang benar-benar percaya bahwa reinkarnasi itu memang ada. Hatta dan Genta dibuat bingung dengan beberapa keping masa lampau tak tak diketahui dari mana asalnya. Perasaan saling kenal jauh lebih lama dari yang bisa diperkirakan selalu dat...