INDONESIA, 1948.
Hattala benar-benar tak menyangka jika ia harus pulang pergi dari tempat ia bertugas ke rumah sang ibu selama setahun ke depan lagi yang berarti ia akan berada di kereta yang sama, gerbong yang sama dan tujuan yang sama selama dua tahun lamanya.
"jam segini, gerbong pasti sepi." monolognya.
kaki panjang itu memasuki gerbong dan duduk tepat di hadapan pintu masuk. udara sejuk malam hari membelai kulitnya mesra.
mata tajam itu melirik ke arah pintu gerbong, mendapati pria sebayanya tengah berkutat dengan satu buku di tangan sembari memasuki gerbong dan duduk tepat di hadapannya.
perawakannya kecil, dengan mata bak serigala, hidung bengir, bibir semuda jambu air dan penampilan yang cukup sederhana.
pria yang sama selama setahun penuh ini selalu berada dalam satu gerbong dan jam keberangkatan yang sama dengannya. dengan keberangkatan pukul 22:15 WIB dan akan berhenti di jatinegara tepat pukul 00:25 WIB.
netra mereka sering bertubrukan, tetapi si manis yang Hattala namai juwita malam ini selalu memalingkan wajahnya malu.
membuat Hattala harus menahan gemas selama setahun penuh. katakanlah Hatta pecundang. tapi memang betul dia pecundang. ia tak sedikitpun mempunyai sebuah keberanian untuk sekedar bertukar sapa.
tapi itu mungkin dulu. karena malam ini, tekat bulatnya untuk menyapa sang juwita malam harus terlaksanakan.
lelaki berseragam coklat dan memikul senjata itu berdehem pelan sebelum membuka suara untuk menyapa.
"hai?" sapa suara berat itu.
juwita malam tadi mengangkat wajahnya. menaruh seluruh atensinya ke pemuda di hadapannya.
"oh hai." balas pemuda itu.
"Nama ku Hattala." ujar hattala.
mata tajam bak srigala itu membulat bingung, membuat nyali Hattala sedikit menciut dan mulai merutuki betapa bodoh cara perkenalannya.
"Gentala." suara manis itu menusuk masuk ke dalam telinga Hattala bak putaran kaset yang berulang-ulang.
sungguh manis dan mampu membuat Hattala candu hanya dalam sekali bicara setelah sekian lama berdiam diri sepanjang perjalanan kereta menuju Jatinegara.
"salam kenal Hattala." ujar Genta pelan dan turun di pemberhentian terkahir.
meninggalkan Hattala yang masih merasa semu akan kejadian yang baru saja terjadi.
"Gentala? nama yang cantik untuk orang yang sama cantiknya." gumam Hatta yang kini bangkit meninggalkan gerbong kereta api menuju rumah dengan senyum lebar tiada dua.
February, 1949.
pertemuan keduanya yang terus berulang membuat mereka telah menjadi sepasang sejoli yang meraut cerita kasih. terimakasih atas tekat Hattala untuk menyapa.
"bagaimana hari mu?" tanya Genta saat dirinya telah berdiri manis di hadapan Hattala yang tengah menjulurkan tubuhnya kedepan melakui jendela kereta.
Hatta yang sejak tadi bungkam dengan segala macam hal yang berada di pikirannya mendongak saat suara selembut sutra yang menjadi candu menyapa.
"lumayan buruk." kata Hatta pelan.
"mengapa buruk?" tanya Genta yang berjalan lebih mendekat ke arah sang belahan jiwa.
Napas pria pejuang itu memberat. "aku tidak mempunyai firasat yang baik untuk melakukan penyerangan terhadap kota jogja yang jatuh di tangan belanda."
bibir semerah jambu air itu terangkat membentuk sebuah kurva senyum yang menenangkan. "kamu pasti bisa."
"aku khawatir jika tidak bisa pulang dengan utuh dan bernyawa lalu berakhir meninggalkan mu." lirih Hatta.
Genta terkekeh lalu mengusap pipi kusam Hatta sayang. "apapun itu, aku siap menunggu."
"tapi Genta, menunggu ku itu percuma. ada banyak hal yang mungkin akan terjadi pada ku di medan perang. jika peperangan telah usai dan aku tak kunjung pulang, tolong ikhlaskan." ujar Hatta pelan.
Genta menggeleng. "kau harus kuat."
"tubuh dan jiwa ini telah ku berikan untuk indonesia. hidup mati ku hanya untuk negara tercinta. mati itu takdir yang mutlak, sekuat apapun kita berlari jikalau hari itu kita mati, maka akan tetap mati."
Hatta terkekeh saat kalimatnya terdengar lumayan aneh. "tapi aku akan mencoba bertahan. demi kau dan ibu."
Genta tersenyum manis lalu memaksa masuk ke dalam rengkuhan pemuda di hadapannya ini. walau harus terhalang lempeng besi gerbong kereta api.
"kalaupun ini menjadi pelukan terakhir kita, ku harap di kehidupan selanjutnya kita akan bertemu." ujar Genta pelan.
Hatta mengangguk. "ayo berjanji untuk bertemu kembali di sini di kehidupan selanjutnya."
Bibir itu bertemu untuk pertama kali dan keduanya tertawa bersama setelahnya untuk yang terakhir kali karena pada dasarnya Hatta gugur dalam penyerangan terhadap jogja yang di laksanakan pada 1 maret 1949.
membuat Genta menumpahkan seluruh air mata dan sakit di dadanya di dalam gerbong yang menjadi saksi pertemuan pertama dan perpisahan terakhir bersama Hatta yang kini gugur dalam membela negara.
Watanabe Haruto as Hattala
.
Park Jeongwoo as Gentala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juwita Malam Season 2 [TELAH TERBIT]
FanficTak banyak yang benar-benar percaya bahwa reinkarnasi itu memang ada. Hatta dan Genta dibuat bingung dengan beberapa keping masa lampau tak tak diketahui dari mana asalnya. Perasaan saling kenal jauh lebih lama dari yang bisa diperkirakan selalu dat...