15.

15K 1.8K 63
                                        

"Waw... Kau tumbuh cepat sekali... Sialan! Aku nampak gendut."

Saat Leo sedang asik bercermin dan menatap kearah perutnya yang sudah sedikit membesar, Arthur hanya menatap datar diarah sofa. Sesekali tersenyum karena mendengar ocehan dari Leo.

"Astaga!"

Dan ketika mendengar teriakan itu, Arthur segera menghampiri Leo dan memeriksa keadaan lelakinya itu.

"Kenapa?"

Bukannya menjawab, Leo malah mengambil tangan Arthur lalu mulai memasukkannya kedalam kaos oblongnya.

"Rasakan Arthur! Astaga!"

Manik itu berbinar dan berseri ketika menatap kearah Arthur. Leo sedang membayangkan bayi nya sekarang, bagaimana wajah nya nanti, perempuan atau laki-laki, mirip dirinya atau mirip Arthur.

Melihat binar itu, Arthur hanya tersenyum lalu mensejajarkan wajahnya dengan perut Leo.

"Hai baby..."

Leo tertawa, sungguh hal yang baru pertama kali Arthur lihat. Anak itu berangsur-angsur melupakan kesedihannya. Kini justru terlihat lebih menikmati segala macam proses kehamilannya. Leo nampak bahagia.

"Sehat terus disana sayang, seseorang nampak bahagia karena mu."

Cup..

Leo merona lalu terkikik, tak pernah menyangka jika sosok seperti Arthur ternyata bisa seromantis seperti sekarang.

Mereka tak tahu saja bahwa lambat laun sifat keduanya mulai berubah menjadi lebih baik dan serasi.

Arthur berdiri lalu mulai merapihkan jasnya. Sedari malam tadi ia sudah meminta izin kepada Leo. Arthur harus pergi ke perusahaannya, ada rapat penting bersama para kolega yang tentunya tak bisa ia lewatkan.

"Hati-hati dijalan."

"Hm.. Jangan lupakan vitamin dan susumu."

Leo terpejam ketika Arthur mencium keningnya lama. Ia tersenyum lalu mengangguk. Ah~ senangnya karena kini Arthur sungguh berubah menjadi pria baik hati dan juga sosok suami idaman. Leo sungguh bahagia.

Tak ingin eksistensinya tak berguna, Leo berinisiatif mencium bibir suaminya itu. Meski dengan gerakan terburu-buru dan juga jangan lupakan rona kemerahan yang parah disekitar pipinya itu.

Arthur terkekeh lalu pamit untuk berangkat. Leo yang masih malu-malu hanya mengangguk lalu mulai beranjak menuju kasur untuk duduk dan menetralkan detak jantungnya.




"Karena mu dia berubah total..."

Leo termenung sesaat setelah memastikan Arthur pergi. Ia usap perutnya dan menatap sendu, tak menyangka...sungguh tak menyangka jika hidupnya akan menjadi seperti ini.

Baginya kejadian yang menimpa hidupnya terlampau mengejutkan. Semua berdatangan secara bertubi-tubi.

"Aish, jangan berpikir aneh. Lebih baik kita jalan jalan."

Jalan-jalan yang di maksudpun bukan ke luar mansion. Tentu Arthur dengan segudang sikap tegasnya selalu melarang. Disini lah Leo menghabiskan waktu selain di perpustakaan, taman mansion yang indah terawat oleh Matheo.

Dengan berbekal sebuah buku yang akhir akhir ini ia tekuni, juga beberapa camilan yang nampak lezat. Leo kini hanyut dalam kegiatan piknik kecil-kecilan itu.

"Mungkin kedepannya kita akan piknik bertiga kau tahu, hahahah aku akan mengajak Arthur lain kali, baby."

Leo tersenyum dan menatap perutnya, mulai membayangkan hal menyenangkan antara dirinya, Arthur dan juga calon anak mereka. Sebuah keluarga kecil, sungguh manis sekali.







Tapi khayalan itu tak bertahan lama sampai seseorang mengagetkan Leo.

"Teruslah bermimpi. Itu tak akan terjadi."

Leo berbalik dan cukup kaget dengan kedatangan Nyonya besar Frederick. Siapa lagi kalau bukan mertuanya yang datang tempo lalu. Wanita anggun itu menatap Leo dengan tatapan yang aneh. Leo sendiri hanya menatap datar, selanjutnya atensi Leo beralih kepada Matheo yang berlari cukup panik dan menghampirinya. Pelayan sekaligus temannya itu tak berbicara, namun postur tubuhnya kini tegap siap siaga disamping Leo.

'Jadi perang dingin ini dimulai?'

Sekali lagi ingat, Leo itu tak bodoh. Dia sungguh menyadari hal ini akan terjadi. George Frederick dan Adeliana Frederick yang sedari awal tak menyukai dirinya pasti tak akan membiarkan Leo dan bayinya hidup tenang.

Wanita itu mendekat, meninggalkan ketukan high heels yang cukup keras. Matanya menatap tajam kearah Leo, sama sekali mengacuhkan Matheo yang semakin siaga.

"Nyonya, sebaiknya kita mengobrol didalam." Matheo berusaha mencairkan suasana, tapi ucapannya itu tak digubris sama sekali.

Leo meremas bahu Matheo, tersenyum kecil dan merapihkan pakaiannya sebentar. Ia melangkah menyisir jarak, sama-sama mendekat kearah Adeliana.

"Jika mimpiku benar-benar terjadi, memangnya kenapa...Nyonya."

Adeliana berdecih, maniknya kentara sekali melayangkan amarah. Terbukti dengan kepalan tangannya yang bergetar, mengepal kaku. Leo melihat itu, namun sejauh ini ia masih bingung... Sebenarnya apa alasan wanita dihadapannya ini begitu membencinya.

"Jika kebencianmu padaku karena hutang Ayah, kalau begitu aku akan bekerja mencari uang sendiri dan membayarnya padamu. Sebanyak yang kau mau. Uang dibayar uang Nyonya, kau tak bisa merebut mimpi orang lain untuk membayar hutang."

Leo meremas ujung bajunya. Entah dorongan dari mana tapi ia begitu lancar sekali menggertak seperti itu. Ia tatap sebentar perutnya, lalu kembali menatap manik Adeliana.





'Hormon orang hamil kah? Baby, tumbuhlah jadi orang yang kuat..ini menyenangkan-!'

Ya, menyenangkan ketika orang yang mengancammu memperlihatkan wajah seperti itu. Amarah yang memuncak dan siap untuk meledak, tapi diam tak bisa berkutik.

"Cih, hanya karena bayi itu kau jadi besar kepala. Pikirkan ini, Arthur itu menyukaimu atau pada bayimu. Mimpimu tak akan terjadi, karena sejak awal kalian bukan keluarga."

Sakit memang ketika mendengar penuturan seperti itu, menyebabkan banyaknya fikiran yang masuk di kepala Leo. Tapi saat ini ia tak boleh goyah. Ia hanya perlu percaya pada dirinya sendiri.


"Kalau begitu lihat kedepannya. Mimpiku yang akan terjadi, atau keinginanmu Nyonya."

Leo sungguh muak, acara pikniknya hancur sudah. Padahal bibi Lily sudah menyiapkan camilan yang sangat lezat. Leo berbalik menatap Matheo, memberi isyarat untuk membantunya membereskan situasi ini.

Ia jengah, masa bodo dengan tata krama karena orang dihadapannya tadi begitu ingin menginjak harga dirinya. Mana bisa Leo tunduk pada orang seperti itu.

Leo berjalan menuju kamarnya seorang diri, mengabaikan Adeliana yang dibawa Matheo menuju ruang tamu. Leo kunci pintu kamarnya dan segera mengambil tas, memasukan beberapa keperluan serta obat obatan didalamnya. Lalu menyimpan tas itu dibawah ranjang kasur. Naluri, Leo sedang merasa terancam. Jadi sebisa mungkin ia bersiap dengan segala kemungkinan yang ada.

Selepasnya, Leo memutuskan untuk berendam di air hangat dan menunggu Arthur pulang. Bersikap biasa saja seolah tak ada yang terjadi. Menyambut pria itu dengan senyuman yang sebisa mungkin terlihat ringan dan hangat. Mengesampingkan hatinya yang mulai berdetak tak nyaman.



















Tbc

Maafin choco, tapi mungkin chapter kedepannya akan banyak konflik dan cukup berat...


INSANE [Man×Boy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang