10. Secangkir Kopi

3.5K 393 248
                                    

“Jadi kamu kerja?”

Soraya mengangguk. Dia menyerahkan helm hitam yang dipakainya kepada Revan.

“Sambil kuliah emang bisa?”

Gadis yang tengah merapikan rambutnya karena jejak helm itu tersenyum tipis. “Bisa. Hari aku kuliah dengan kerja beda.”

“Tapi, apa kuliahmu nggak keganggu, Ray?” Laki-laki yang sedang menalikan helm di jok belakang itu menoleh sejenak memandang seorang gadis yang baru diantarnya.

Soraya tertawa kecil. “Enggak, kok. Aku senang ngerawat oma. Kalau nggak ada pekerjaan, aku malah nggak akan kuliah.”

Kemudian keheningan terjadi. Revan tidak membuka suara begitu juga Soraya. Sampai akhirnya Soraya tersadar jika Revan sedari tadi menatapnya tanpa berkedip membuat gadis itu berdeham. “Kamu nggak pulang?”

Revan mengangkat alisnya, menarik senyum tipis. “Ngusir, nih?”

“Iya. Hahaha.”

“Wah, kamu, ya.”

Soraya tergelak. Tangannya melambai ketika Revan mulai menghidupkan mesin motornya.

“Hati-hati.”

“Pasti.”

Lima detik kemudian, Soraya mengernyitkan keningnya karena Revan masih berdiam diri di motornya sembari memasang senyum lebar. “Kenapa belum pulang?”

“Soraya,” panggil Revan.

“Y-ya?”

“Kita pasti akan bertemu lagi. Aku janji.”

Setelah mengucapkan itu, perlahan Revan mengendarakan motornya menjauhi gerbang besar hitam dan meninggalkan jejak-jejak asap tipis dari knalpotnya. Masih dengan sisa-sisa bau khas asap motor, Soraya tersenyum tipis sembari memerhatikan punggung Revan yang mulai menghilang.

Kemudian kaki Soraya melangkah memasuki pelataran rumah setelah pintu gerbang dibuka oleh Yatno.

“Terima kasih, Pak.”

“Siap, Neng.”

Soraya menyatukan alis ketika mata cokelatnya menangkap mobil putih milik Brama terparkir rapi di garasi. Gadis itu sontak mendongak, menyaksikan matahari yang tepat berada di atas kepala. Setahunya, jam pulang Brama sekitar jam tiga sore. Namun, sekarang matahari belum tenggelam dan macan itu sudah tiba.

Soraya mengembuskan napas, akan sangat menjadi tidak nyaman jika Brama berada di rumah. Karena cucu tersayang oma itu akan menghabiskan harinya dengan menempel pada neneknya dan tentu saja sambil mengkritik semua perbuatan Soraya yang selalu salah di mata elangnya.

Saat Soraya berjalan di sisi kanan mobil Brama, tiba-tiba pintu kemudi terbuka secara mendadak. Membuat kepala Soraya hampir terbentur jika saja gadis itu tidak segera meloncat ke belakang.

Matanya membulat dengan mulut menganga lebar menyaksikan seorang Brama Adirespati dengan santainya melenggang keluar dari mobil tanpa merasa bersalah sama sekali. Kalimat yang terlontar dari mulut Brama semakin membuat mata Soraya membulat.

“Makanya kalau jalan itu matanya dipakai buat ngelihat ke depan. Bukannya malah nunduk ke bawah karena kesal saya sudah pulang.”

Soraya tidak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Bagaimana laki-laki itu tahu? Padahal sedari tadi dia hanya membatin.

“Tadi siapa?”

Soraya mengangkat wajah menatap Brama yang tengah bersender di mobilnya dengan gaya angkuh.

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang