27. Kampung Halaman

2.3K 188 66
                                    

Soraya memandangi kamar kecil miliknya. Kamar tidur yang benar-benar mutlak punya dia. Kasur berdipan kayu sudah tertata rapi dengan seprai bunga melati favoritnya. Almari dari bahan dasar kayu juga terisi pakaian-pakaian yang dia tinggalkan. Dan meja belajar berisi buku-buku serta kertas bertuliskan motivasi.

Jujur, Soraya rindu itu semua. Seburuk apapun bentuk kamar yang dia miliki, tidak mengalahkan kenyamanannya dengan kamar sempurna milik orang lain.

Perlahan, gadis itu membawa tas besarnya ke atas kasur. Membuka satu persatu barangnya dan meletakkan kembali ke tempat semula.

Sejauh apapun dia pergi akan tetap pulang. Dan mungkin tidak akan bisa kembali.

Soraya menahan mata yang terasa panas. Dia merasa bersalah meninggalkan orang-orang baik di Jakarta tanpa pamit. Namun, mereka pasti tidak akan menyangka jika dirinya pulang untuk menikah.

Ya, Fitri hanya bilang bahwa pernikahannya dengan Juragan Santoyo dipercepat. Soraya tidak bisa membantah karena ibunya dalam keadaan sakit.

Selang beberapa waktu, pintu kayu terbuka. Soraya menoleh dan tersenyum sendu ketika Yanti masuk ke kamarnya. Wanita dengan wajah keibuan itu duduk di samping Soraya.

"Ray, kenapa kamu bisa kayak gitu?"

Soraya mengernyitkan dahinya, menatap Yanti meminta penjelasan. "Kayak gitu gimana, Bulik?"

Terdengar helaan napas dari bibir wanita itu. Dia menunduk sembari menggosok-gosok lututnya. "Bilang sama Bulik, sejak kapan kamu kerja jadi wanita malam?"

Soraya sontak melebarkan mata. "Raya nggak pernah kerja kayak gitu, Bulik."

"Kamu nggak usah nutup-nutupin itu lagi, Ray. Bulik udah tau, ibu kamu tau. Semuanya tau." Tatapan kecewa yang ditujukan Yanti kepadanya membuat hati Soraya terluka. Satu tetes lolos begitu saja.

"Demi Tuhan, Raya nggak pernah kerja seperti itu." Ucapan Soraya bergetar. Apa ini alasannya disuruh pulang cepat dan menikah dengan Juragan Santoyo? Gadis itu tidak bisa menahan air matanya, dia menutup wajah. Mulai terisak mengapa terjadi kesalahpahaman seperti ini.

Yanti mengguncang tubuh Soraya. Wajahnya sudah penuh dengan derai air mata. "Bulik awalnya nggak percaya itu, Ray. Tapi ada buktinya. Bulik lihat sendiri!" Semakin lama, guncangan Yanti melemah. Dia tergugu dengan tangisnya. "Kamu ganti-ganti pasangan dengan lelaki. Bahkan kamu ngerebut mereka dari tunangan dan pacarnya."

Soraya mendongak. Dia menggeleng. "Soraya nggak pernah ngelakuin itu. Raya ikhlas pulang dan nguburin mimpi Raya. Itu demi Ibu, Raya mau nunjukin kasih sayang ke Ibu karena selama ini Raya banyak durhaka." Dia menarik napas panjang. "Tuduhan apapun itu, Raya bakal biarin. Karena Ray yakin, Bulik percaya sama Raya."

Yanti memeluk Soraya. Mereka berdua tenggelam ke dalam tangisan masing-masing. Setelah beberapa menit, Soraya keluar dari kamar. Dia mengusap bekas air mata dan memasang senyum untuk ke kamar Fitri.

Ibunya terbaring lemah di ranjang. Kulit tangannya mulai mengendur menunjukkan garis-garis tua di sana. Raya menyentuh kaki ibunya, mulai memijit perlahan Fitri yang tengah tertidur.

"Bu, Raya akan menuruti kata-kata Ibu. Raya siap menikah dengan Juragan Santoyo jika itu bisa membuat ibu sembuh lagi." Soraya tersenyum getir. "Jangan dengerin kata-kata orang entah siapapun itu yang nuduh Soraya, Bu. Jangan."

"Karena itu, Ibu sakit. Penyakit jantungnya kumat. Raya udah di sini, Ibu harus sembuh." Gadis itu mencium punggung tangan ibunya. Tidak ada yang lebih buruk dari kehilangan seorang ibu. Wanita yang sudah melahirkan, membesarkan dengan sepenuh hati.

Meskipun mimpi taruhannya, Soraya akan melakukan semua demi ibunya.

***

Untuk tetap bisa mendapatkan penghasilan, Soraya menggantikan ibunya berjualan gorengan. Sudah sejak pagi tadi, gadis itu berkutat dengan adonan yang mulai tandas. Soraya menata gorengan di tampan kemudian memikulnya.

Itu adalah pekerjaan yang semestinya Soraya kerjakan, jika dia tidak kukuh pergi ke Jakarta. Meneruskan pekerjaan ibunya dan membangun lebih besar setelah menjadi istri dari Juragan Santoyo.

Fitri tampak duduk di kursi ruang tamu. Bibirnya yang pucat menyunggingkan senyum lemah. "Hati-hati, Ray."

Soraya mengangguk. Berpamitan dengan mencium tangan Fitri, kemudian berjalan keluar dengan menenteng kresek kecil.

Peluh menetes dari kening Soraya seiring kakinya yang menapak di tanah panas. Cuaca seperti ini membakar kulitnya, tetapi semangat gadis itu tidak pudar. Dia meneriakkan macam-macam gorengannya dan menawarkan ke orang-orang yang di jalan.

"Lima ribu, ya, Mbak."

Soraya mengangguk berujar terima kasih sembari mengantongi uang yang didapat. Kembali meneruskan perjalanan keliling kampung untuk menghabiskan gorengannya.

Sepanjang itu, banyak yang menyapa Soraya bahkan menggodanya seperti para pemuda di sawah. Gadis itu hanya tersenyum tipis, ya, inilah kehidupan perempuan desa sebenarnya. Salah jika Soraya menginginkan hidup yang lebih baik di kota.

Ketika dia sudah sampai di jembatan, hal yang tidak diinginkan Soraya terjadi. Juragan Santoyo dan anak buahnya sedang menggerombol di sana. Terdapat sebuah poskamling yang menjadi markas mereka. Soraya hendak berbalik, tetapi sepertinya Santoyo menangkap pergerakannya.

"Soraya?"

Tubuh gadis itu menegang. Dia menatap takut-takut Juragan Santoyo beserta anak buahnya yang menghampirinya sembari memelintir kumis. Senyum jumawa tercetak di bibirnya.

"Pulang juga, kau. Lama aku menunggu." Santoyo terkekeh. Merasa sangat bahagia melihat gadis pujaannya.

"Kemarin ibumu datang, katanya kau mau menikah denganku. Ternyata gadis cantik sepertimu bisa mencintaiku juga. Hahaha."

Soraya tidak tahan jika harus berlama-lama di sana. Tanpa pamit, dia mulai berbalik menjauh. Juragan Santoyo membiarkan calon istrinya pergi sembari tertawa terbahak-bahak.

"SATU MINGGU LAGI, KAU JADI ISTRIKU, SORAYA. KITA AKAN BERSENANG-SENANG. HAHAHA."

***

Ada yang kesel sama si juragan sapi itu, nggak?

Tunggu, ya, kisah selanjutnya. Terima kasih sudah membaca, semoga suka!-♡

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang