Soraya menyisipkan rambutnya ke belakang dengan gusar. Mengusap-usap kepala pelan untuk mendinginkan otak yang panas karena sedari tadi dia tidak mendapatkan ide untuk menulis tugas. Jarang sekali hal seperti ini menimpanya dan itu dikarenakan sikap Brama semalam membuat pikirannya buyar.
“Soraya! Kenapa sih mikirin dia! Lupain! Udah cuci tangan juga tapi kenapa masih dirasain!?”
Untungnya, suasana taman kampus sepi. Tidak banyak anak yang mengerjakan tugas di bangku beton beralas ubin yang dinginnya menusuk ke tulang. Jadi, tidak akan ada yang curiga dengan racauan dan dengkusan gadis itu.
“Marah-marah aja, Neng.”
Soraya mendongak, mendapati seorang laki-laki dengan potongan rambut rapi yang mengenakan jaket jeans tampak sedang mencondongkan tubuhnya dengan bertumpu ke meja.
“Dari tadi aku perhatiin, kamu kayak ngomel mulu. Kenapa?” Revan tertawa, mendudukkan diri di samping Soraya.
Soraya mengerjapkan matanya. Tidak mungkin dia bilang karena bosnya yang tiba-tiba bersikap manis dan membuat dirinya kesal karena salah tingkah. “Em ... anu, itu aku nggak dapet ide.”
“Ide buat apa?”
“Nulis tugas.”
“Anak sastra emang nggak jauh-jauh dari ngarang, ya.”
Soraya menghela napas, mengangguk pelan. Dia benar-benar buntu. Cucu oma itu mengacaukan pikirannya.
“Soraya, aku tau gimana caranya biar ide kamu lancar.”
Soraya memandang kakak tingkatnya yang seperti sedang menahan senyuman. “Gimana?”
“Makan. Kita ke kantin.”
Tanpa aba-aba Revan menarik pergelangan tangan Soraya untuk digenggam dan mengajak gadis itu membeli makanan.
Soraya melebarkan mata, menatap tangan besar Revan mengurung tangan mungil miliknya. Dua kali, tangan itu mendapatkan perlakuan halus dari dua tangan orang yang berbeda.
“Kamu lapar, Ray. Nanti kalau udah kenyang, pasti otaknya lancar.” Revan berbalik sejenak untuk mencuil pucuk hidung Soraya. “Yuk, aku traktir.”
Soraya hanya melangkahkan kakinya mengikuti Revan. Pandangan-pandangan mata dari siswa lain sangat dia rasakan saat dirinya dan Revan melewati koridor sembari bergandeng tangan. Soraya merasa tidak enak karena para mahasiswi menatapnya sinis.
“Revan, kita jalan sendiri-sendi--“
Perkataan Soraya terputus karena bukannya Revan melepas genggaman malah semakin mempererat dan membawa tangan Soraya masuk ke dalam lengannya.
“Ada aku. Kamu tenang aja.”
Revan merasakan kegelisahan yang menimpa Soraya tentu berasal dari penggemar-penggemarnya yang tersebar di seantero pelosok kampus. Sejak perjalanan menuju kantin hingga tiba di tempat penuh makanan itu, tidak ada satu pun pandangan yang mengenakkan bagi mereka. Terkhusus, tatapan-tatapan benci terus diterima Soraya.
“Penuh semua kursinya,” Revan menggumam. Matanya bergerak ke seluruh penjuru ruangan segi empat yang lumayan besar itu. Konter-konter penjual dengan kursi di depannya tidak ada yang tidak terisi membuat mereka mau tidak mau makan dengan duduk di pembatas besi.
"Revan, itu ada yang kosong." Soraya menunjuk empat bangku kosong dan satu meja yang terletak di tengah-tengah kantin, sangat strategis untuk memesan makanan. Namun, Revan menggeleng.
“Sini aja.” Revan menyuruh Soraya untuk menunggunya di palang besi kantin yang masih bersih dengan beberapa murid lain yang tidak kebagian tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
After She's Gone
Romance[ End. Cerita Lengkap ] Soraya Mekarwati, seorang gadis berparas ayu dari kampung yang mendapat beasiswa kuliah ke Jakarta dan memberanikan diri tetap berangkat tanpa persetujuan ibunya. *** Untuk menghidupi kebutuhan di Jakarta, Soraya bekerja seb...