16. Pengungkapan

2.9K 277 198
                                    

Soraya menutup ponselnya. Bertukar pesan dengan Brama lama-lama bisa membuatnya gila. Senyum-senyum sendiri di tengah-tengah dosen sedang mengajar. Soraya harus ingat dia datang ke Jakarta untuk mengejar mimpi dan tentunya membanggakan Fitri.

Kelas pagi sudah selesai. Setelah membereskan buku-buku, Soraya keluar kelas menuju gazebo langganannya tempat dia menghabiskan jam istirahat, untuk menikmati bekal buatannya.

Namun, di gazebo favoritnya ternyata sudah ada seseorang yang tengah merebahkan diri.

"Revan?"

Laki-laki itu tampak bangkit. Rambutnya acak-acakan, lingkaran hitam menghiasi mata. Penampilannya berantakan dengan kemeja yang sudah tertanggal dan dijadikan sebagai bantal.

"Kenapa?" Soraya duduk di samping presiden mahasiswa itu.

Revan tersenyum. "Cuma capek aja, Ray. Semalem nggak tidur."

Soraya melebarkan mata. "Kenapa? Ada masalah?"

Gadis itu memperbaiki posisi duduknya. Menghadap Revan yang terbangun dari tidur pagi.

"Hahaha biasa, masalah udah jadi makanan sehari-hari."

Soraya menatap layu. Dia khawatir dengan temannya itu, sangat terlihat jika Revan sedang tidak baik-baik saja. "Kamu boleh cerita ke aku, kalo emang ada apa-apa."

Revan memandang Soraya penuh kasih sayang. Gadis di depannya itu memang beda, dia sangat perhatian. "Baik, kalau kamu maksa."

Revan terbahak saat Soraya melototinya sembari menggembungkan pipi. "Iya-iya, oke." Laki-laki itu menarik napas. "Jujur, Ray, jadi ketua BEM itu berat."

"Tiap hari pasti ada acara yang aku datangin buat mimpin rapat, nyusun acara kegiatan, ngekoordinasi anggota, nulis inti proposal, kalau aku sebutin semua mungkin sampe nanti malam."

Soraya tersenyum tipis saat Revan tertawa, sedang bercanda. Padahal Soraya tahu, tanggung jawab yang dipikul sebagai ketua sangatlah besar.

"Ya, aku kadang kayak gini. Lembur semalaman buat nyiapin rapat nanti." Revan memandang Soraya. "Cuma capek sedikit."

Revan berbohong. Sebetulnya dirinya sangat lelah, tetapi dia tidak mau membuat Soraya khawatir.

"Kesehatanmu itu yang utama, Revan. Mau sesibuk kamu, harus tetap tidur, istirahat. Coba lihat mata kamu persis kayak panda."

Revan meraba area matanya. Tertawa kecil karena apa yang dikatakan Soraya memang benar. Hanya dengan seperti ini saja, rasa lelahnya perlahan menguap. Soraya berhasil membuatnya bahagia, meringankan bebannya.

"Ya, 'kan? Jangan terlalu dipaksa."

Revan tersenyum, mengusap puncak kepala Soraya. Menjadi ketua BEM merupakan pengalihan dari masalah keluarganya. Dia menjadi sibuk dan tidak mempunyai waktu untuk memikirkan orang tua. Namun, sekarang sepertinya tidak lagi, dia tidak butuh pengalihan, dengan adanya Soraya sudah untuk mengobati.

"Iya, setelah ini, gak bakal kejadian lagi."

Soraya menghela napas, mengangguk. Kemudian menggeledah tasnya dan mengambil bekal makanan. "Udah makan belum?"

Revan menggeleng. Dia melihat kotak bekal Soraya yang berisi sayuran dan daging. "Masak pagi-pagi?"

"Iya. Sekalian buat Mas Bos bekal kerja juga."

Air muka Revan berubah. Mendengar panggilan mas bos membuat pikirannya melayang kemarin. Bos muda Soraya yang angkuh dan pemaksa. "Namanya siapa?"

Soraya memandang balik Revan, pipinya terlihat ada semburat kemerahan. "Brama."

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang