Satu minggu terlewati tanpa ada informasi yang di dapat Brama mengenai keberadaan Soraya. Mencoba bertanya kepada Freda, tetapi jawaban ibunya membuat laki-laki itu kecewa.
"Mama sudah nelpon Bi Yanti berkali-kali, Brama. Tetap nggak diangkat. Kayaknya nomor Bi Yanti udah nggak aktif."
"Ma, coba hubungin sekali lagi. Mungkin Bi Yanti nggak denger." Brama menatap ibunya memohon.
Freda menghela napas panjang. "Nih, kamu coba telpon sendiri." Wanita itu menyerahkan handpone-nya yang langsung diterima Brama dengan penuh harap. Namun, lagi-lagi tidak ada balasan dari sana.
Freda mengusap punggung anaknya, ia tersenyum teduh. "Jangan nyerah dulu dong. Kamu bisa nyari informasi di tempat kuliahnya. Coba, gih."
Brama menyandarkan kepala di lutut Freda. Posisinya kali ini dia sedang duduk di karpet bawah sedangkan ibunya di sofa. "Brama takut nggak bisa ketemu dia lagi," ungkapnya pelan.
Baru kali ini Brama mengatakan ketakutan tentang sesuatu. Biasanya laki-laki itu selalu bisa mengatasi masalah dengan tenang, tapi kali ini sangat terlihat kekhawatiran dan penyesalan di matanya.
Freda beralih mengusap rambut Brama dengan lembut. Tatapan menenangkan tetap dia sorotkan. "Kamu suka sama Soraya, ya?"
Brama menggeleng. "Bukan suka lagi, Ma. Brama cinta sama dia."
Wanita paruh baya yang masih anggun dan terlihat muda itu tertawa pelan. Brama jarang merengek seperti ini, pasti apa yang dirasakan putranya itu sungguh-sungguh.
"Kali ini kamu serius?"
Brama mengangguk. "Setelah ketemu Soraya nanti, langsung aku klaim hak milik dan ajak dia menikah."
Freda mengeluarkan tawa merdunya. Dia mengelus kepala Brama yang di dalamnya entah sedang merencanakan apa. "Kok buru-buru banget?"
Kali ini, Brama membenarkan posisi duduknya menghadap sang mama. Wajahnya yang tegas nampak terlihat serius. "Aku punya saingan, Ma."
Freda melebarkan mata. "Oh, ya? Siapa?"
"Temen kampusnya. Revo? Renav? Nggak tau, lupa." Brama mengedikkan bahunya acuh.
Freda menahan tawanya dan menyunggingkan senyum. Gemas sekali melihat anak laki-lakinya yang dingin bisa cemburu. Terakhir Brama seperti ini, ketika masih kecil saat Freda memilih tidur bersama ayah Brama dibandingkan dia. Dan ungkapan marah seorang Brama kecil masih Freda ingat sampai sekarang.
"Ayah jahat. Mendominasi Mama seenaknya. Dasar pelit." Kemudian dia menatap ibunya. "Brama kecewa sama Mama, padahal Brama mau dibacain dongeng."
Dan sepotong ingatan itu mau tidak mau membuat Freda melebarkan senyuman. Brama selalu menggemaskan di matanya saat kecil maupun sekarang.
"Ma."
Freda menatap lembut putranya. "Ya, Sayang?"
"Soraya nerima Brama nggak, ya?"
"Kenapa dia harus nolak kamu?"
Brama memainkan jari-jari Freda. Kegelisahan sedang mengelilingi tubuhnya. "Brama kaku, dingin, nggak humoris. Cewek yang dekat rata-rata nggak betah karena aku sibuk."
Freda masih tetap dengan senyumannya bertanya, "Terus?"
"Raya orangnya ceria, Ma. Dan aku pernah lihat dia sama cowok itu, mereka asik banget."
Freda mengangkat tangannya dan mengusap rahang Brama. Memperhatikan mata hitam legam itu lekat-lekat. "Kamu berpikir kalau Raya itu sama dengan cewek-cewek lain? Memangnya kamu yakin dia nggak mau nerima kekurangan kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
After She's Gone
Romance[ End. Cerita Lengkap ] Soraya Mekarwati, seorang gadis berparas ayu dari kampung yang mendapat beasiswa kuliah ke Jakarta dan memberanikan diri tetap berangkat tanpa persetujuan ibunya. *** Untuk menghidupi kebutuhan di Jakarta, Soraya bekerja seb...