23. Ungkapan Rasa

2K 186 113
                                    

Memanfaatkan cuaca yang cerah di sela-sela musim hujan, Fitri langsung menjemur pakaiannya. Semenjak Soraya pergi ke Jakarta, semua pekerjaan dilakukannya sendiri. Seperti mencuci baju hingga menjemur biasanya merupakan tugas anak gadisnya itu.

Jujur, jika Fitri berharap Soraya balik pulang ke rumah, itu benar. Dengan adanya keberadaan Soraya, pekerjaan Fitri terasa ringan. Tubuh tuanya yang tidak sekuat dulu sekarang sudah tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaan berat ditambah lagi dengan mencari nafkah.

Selain itu, ia ingin melihat putrinya tumbuh menjadi orang dewasa. Menikahkan Soraya dengan Juragan Santoyo masih menjadi harapan Fitri. Karena Fitri ingin melihat anaknya menjadi orang kaya dan tidak dihina-hina lagi oleh orang.

Saat baju terakhir sudah tergantung pada seutas tali, Fitri berbalik dengan membawa embernya. Namun, kedatangan adik iparnya yang tiba-tiba mengejutkan wanita itu.

"Ada apa?! Dateng-dateng kok kayak setan!" Fitri mengusap dadanya sambil menggerutu memarahi Yanti yang berdiri tidak jauh darinya.

"Itu, Mbak. Ada temen-temennya Soraya dari kota."

Fitri mengernyit. "Ngapain?"

"Mau ketemu sama Mbak Fitri."

Dengan rasa keheranan, Fitri pun mulai melangkah mengikuti Yanti yang ternyata tamu-tamu itu sudah berada di rumahnya.

Dia menatap dua gadis seusia putrinya sedang menangis tersedu-sedu. Hal tersebut membuat Fitri tambah tidak mengerti.

"Kalian siapa?" tanya Fitri sembari duduk di kursi.

"Sa-saya temannya Soraya dari Jakarta, Bu. Hiks hiks," jawab seorang gadis yang menenteng sepatu putih. Terlihat mengusap air matanya dengan sebuah tisu.

"Saya Gie, Bu. Teman Soraya juga. Ini Pastika, Kakak saya," ucap seorang gadis lain yang tampak lebih muda.

Fitri termenung mencerna. Yang menjadi pertanyaan di benaknya adalah mengapa dua orang yang mengaku teman Soraya itu pada menangis? Sekilas dia menatap Yanti yang mengedikkan bahu, tidak mengetahui juga.

"Apa tujuan kalian datang kemari? Di mana Soraya?" tanya Fitri dingin.

Kemudian, Pastika menceritakan apa yang sudah dia rencanakan mengenai kedekatan Soraya dan Brama. Dengan tambahan ekspresi terluka supaya akting yang mereka lakukan bisa tampak meyakinkan. Tak mau kalah, Gie juga menceritakan kemesraan antara Revan dan Soraya. Air mata bercucuran untuk menciptakan suasana yang dramatis.

"Ini saya ada buktinya kalau Soraya sudah dekat-dekat pacar saya. Dia merebut Revan dari saya, Bu. Hiks." Gie mengulurkan ponselnya yang terdapat gambar Soraya dan seorang laki-laki, yang tidak lain adalah Revan, sedang suap-suapan di kantin.

"Saya sakit hati sekali melihat itu, Bu. Revan mutusin saya karena Soraya."

Fitri tercengang. Perempuan yang berada di foto itu merupakan anaknya. Benarkah Soraya di Jakarta sudah berbuat yang tidak-tidak?

"Bukan cuma Revan, tapi tunangan saya, Brama, juga direbut oleh Soraya. Ini fotonya." Bergantian, Pastika yang kini menunjukkan gambar di ponselnya bahwa Soraya tengan berdansa dengan Brama di pesta pada malam itu. Terlihat keduanya sangat dekat, hampir tidak berjarak.

Fitri sontak memegang dadanya yang terasa sesak melihat kelakuan putri satu-satunya itu. Soraya, anak yang dia besarkan dari kecil tidak di sangka menjadi wanita tidak berakhlak.

"Maaf sebelumnya, Bu. Soraya memang sudah melakukan itu, sesuai dengan yang di foto. Dia merebut tunangan saya dan juga pacar adik saya." Pastika mengucapkannya dengan sangat tersiksa. Air mata mengucur deras, melunturkan make up tebalnya.

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang