19. Surat Undangan

2.1K 196 134
                                    

Brama menatap sebuah surat undangan di tangannya. Pesta yang diadakan sebuah perusahaan selalu membuat laki-laki dua puluh lima tahun itu gusar. Karena jujur saja Brama tidak suka keramaian, basa-basi, dan bersikap sok baik dengan orang yang sebenarnya adalah saingan kerja.

Orang-orang yang berada di lingkup perayaan perusahaan itu, tidak lain merupakan orang yang sedang memakai topengnya dan memerankan drama untuk bersikap baik di depan penyelenggara pesta.

Mereka hanya berpura-pura mendukung layaknya teman, padahal bisa Brama jamin 90% dari mereka membenci keberhasilan itu secara diam-diam.

Bukan cuma itu yang membuat Brama malas menghadiri pesta. Di sana dia pasti akan dibanjiri pertanyaan soal pasangan oleh istri-istri para pengusaha dan secara otomatis mereka akan mempromosikan anak gadisnya kepada Brama.

Benar-benar menyebalkan.

Apa dia terlihat seperti anak kecil yang disuruh memilih mainan yang sudah dipersiapkan para ibu itu?

Freda saja tidak pernah menjodohkannya dengan wanita manapun karena Brama berhak memilih teman hidupnya sendiri.

Andai saja direktur perusahaan industri terbesar se-Indonesia itu bisa menolak hadir dengan membuat alasan terlogis, pasti sudah Brama lakukan. Sayangnya ayah Brama, Handaru Adirespati, memaksanya untuk datang demi menjaga nama baik perusahaan.

Waktu itu, Brama jelas mengingat perkataannya ayahnya ketika dia akan menolak menghadiri pesta.

"Jangan berlaku tidak sopan, Brama. Kamu mau membuat nama perusahaanmu jelek di mata para pengusaha dan investor?"

Ya, Brama harus hadir di acara itu demi menjaga nama baik.

Selanjutnya, dia menutup laptop dan membereskan kertas-kertas pentingnya untuk dibawa pulang. Acara kali ini dia tidak akan datang sendirian dan membiarkan ibu-ibu menyerbunya, Brama akan membawa pasangan yang sudah sejak awal memenuhi pikiran.

Saat hendak keluar dari ruangan kantornya, tiba-tiba pintu terbuka dan seorang gadis dengan pakaian kantor yang terkesan sengaja untuk menampilkan lekuk tubuh, berdiri di ambang pintu.

Pastika tersenyum lebar melihat Brama berada di hadapannya. Tangan kanan gadis itu tengah memegang kertas undangan premium yang sama dengan Brama baca tadi.

"Aku mau datang sama kamu." Seolah mengerti apa yang dipikirkan Brama, gadis itu langsung mengucapkan tujuannya.

"Gak bisa."

Air muka Pastika tidak menunjukkan jika dirinya kecewa. Senyum terbaiknya masih menghias wajah. "Aku gak akan bikin malu kamu kok Brama. Aku janji cuma dampingi kamu aja."

Brama mendongak, menghirup napas dalam-dalam. "Saya gak bisa datang dengan kamu. Lebih baik kamu cari orang lain untuk kamu jadikan teman."

"Tapi, 'kan, kamu juga pergi ke sana, Brama. Kenapa kita gak sama-sama aja?" Pastika menatap Brama serius. Senyum di bibirnya mulai perlahan luntur.

"Saya sudah punya pasangan untuk pergi."

Pastika terkesiap. "Siapa?" Apa jangan-jangan si Soraya itu? Tolong, semoga enggak.

"Tidak penting memberi tahu kamu."

Pastika menyaksikan langkah kaki Brama yang menjauh darinya. Gadis itu benar-benar kecewa karena sepertinya Brama memang menyukai Soraya. Selama ini, dia tidak pernah melihat Brama membawa seorang wanita ke pesta dan jika kali ini dia membawa seseorang, pasti orang itu spesial.

Pastika memikirkan sesuatu. Dia tidak boleh kalah begitu saja. Soraya hanya gadis kampung yang tidak sebanding dengan dirinya.

***

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang