Satu hari bagai satu jam dan satu minggu bagai satu hari. Tak terasa sesuatu yang dikhawatirkan telah tiba. Hari pernikahan Soraya Mekarwati dan Santoyo si juragan sapi akan dilaksanakan hari ini. Persiapan yang lumayan besar satu minggu terakhir sudah berakhir dengan sempurna.
Tenda pengantin di halaman rumah mempelai wanita sangat indah dengan tatanan bunga-bunga putih di dinding belakangnya. Kursi untuk para tamu sudah berjajar rapi di sana serta makanan yang terlihat menggoda pun telah tersaji di meja. Tentu saja semua persiapan itu dibiayai oleh sang calon pengantin laki-laki, Juragan Santoyo.
Sedangkan calon pengantin perempuannya kini sedang duduk di depan meja rias. Menatap pantulan wajah alaminya pada kaca dengan ekspresi tidak dapat diartikan.
"Mbak Raya sakit?"
Laila, seorang tukang rias yang dibayar Juragan Santoyo untuk merias Soraya bertanya khawatir. Pasalnya, mempelai perempuan yang akan ia dandani tampak pucat dengan kondisi tubuh yang tidak bersemangat.
Soraya menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa, Mbak."
"Tapi bibirmu pucat banget, Mbak Ray. Aku ambilin minum dulu, ya."
Laila langsung melesat ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Sedangkan Soraya tersenyum sendu menyadari wajahnya pucat seperti vampire. Gadis itu menggigit bibirnya dalam-dalam saat merasakan kedua matanya mulai memanas.
Stop, Ray! Kamu enggak boleh nangis. Jangan lemah, jangan cengeng. Ibu bahagia, kamu harusnya juga bahagia.
Tanpa dapat ia cegah, satu air mata lolos begitu saja.
Bohong jika Soraya mengatakan dirinya baik-baik saja, bohong jika dia tidak menangis semalaman hingga membuat kedua matanya bengkak. Dan bohong jika dia tidak merindukan seseorang yang dicintainya.
Soraya menyesal belum sempat mengungkapkan perasaan sesungguhnya pada Brama. Dia merasa bersalah karena membiarkan laki-laki itu bertanya-tanya apakah dirinya juga merasakan hal yang sama.
Namun, penyesalan hanyalah penyesalan. Sekarang dirinya sudah resmi menjadi calon pengantin yang sebentar lagi akan bersanding dengan si calon suami.
"Ini, Mbak. Diminum dulu." Laila datang dan menyerahkan air putih.
"Makasih, Mbak."
Perias pengantin itu tersenyum tulus. Kesehatan mempelai wanita adalah nomor satu, karena kegiatan merias ini akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Jika kondisi tidak fit maka akan memengaruhi hasil riasan.
"Mbak Raya mau dandanan yang kayak gimana?"
"Terserah aja, Mbak."
"Mau yang glamor, kalem, atau mewah kayak artis-artis gitu, Mbak?"
"Terserah, Mbak Laila."
Laila mengernyit. "Lho, Mbak Raya nggak pengen yang kayak apa gitu? Biasanya pengantin itu udah punya bayangan mau didandanin kayak gimana loh, Mbak," ujarnya sambil menjepit anak rambut Soraya yang bisa mengganggu meriasnya nanti.
"Nggak ada, Mbak."
Soraya tersenyum tipis saat Laila menatapnya seolah-olah bertanya, "yakin?" pada dirinya. Dia mengangguk, pernikahan ini saja tidak pernah terbayangkan apalagi mengenai dandanannya.
"Yaudah, aku dandani kayak pas nikahannya Nagita Slavina. Soalnya wajah-wajah Mbak Raya nih wajah artis."
Soraya mulai melihat Laila yang membubuhkan bedak utama pada wajahnya. Di tap-tapnya dengan halus dan merata. Selanjutnya, dia memberikan seoles concealer pada bagian bawah mata, atas alis, dan area sekitar bibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
After She's Gone
Romance[ End. Cerita Lengkap ] Soraya Mekarwati, seorang gadis berparas ayu dari kampung yang mendapat beasiswa kuliah ke Jakarta dan memberanikan diri tetap berangkat tanpa persetujuan ibunya. *** Untuk menghidupi kebutuhan di Jakarta, Soraya bekerja seb...