"Eh, Gie, tuh Revan." Gie sontak menoleh setelah Sharen memberitahu kedatangan Revan ke kantin. Rambut bergelombang warna hitam berkombinasi merah gadis itu bergerak indah seiring kepalanya berpaling.
Revan mengenakan kaos hitam dan jeans serta sepatu warna senada. Rambutnya sedikit berantakan dengan raut wajah tidak bersemangat.
"Guys, menurut lo sampai kapan Revan murung kayak gitu?" tanya Gie karena ikut merasakan kesedihan yang menimpa Revan.
"Sampai Putri Saljunya kembali. Dilihat dari kondisi Revan sih, orang yang nyembunyiin si Putri jahat bener."
Gie merasa tersinggung dengan kalimat Okta, seakan-akan dirinya adalah manusia terjahat di dunia karena membuat seseorang yang dicintai menderita.
Tapi, gue emang jahat sama Revan.
Gie mengaduk-aduk minumannya, sesekali mencuri pandang ke arah Revan yang tengah makan sendirian. Tidak, Gie tidak boleh diam saja melihat pangeran pujaan hati sedih seperti itu. Dia harus melakukan sesuatu.
Kemudian, gadis itu beranjak. Okta, Sharen, dan gadis berambut kribo si Audrey, bersamaan mengerutkan alis.
"Mau ke mana?"
Gie tidak mengindahkan pertanyaan itu. Dia membereskan barang-barangnya dengan cepat. "Asal kalian tau, gue juga tersiksa kalau Revan tersiksa." Setelah resleting tasnya tertutup dengan sempurna, Gie menyandangnya. "Kalian jangan ngikutin gue. Bye-bye!"
Gadis itu segera berjalan ke pintu kantin mengikuti Revan yang baru saja keluar. Dia memberikan jarak beberapa ratus meter supaya Revan tidak sadar dia mengikutinya. Hingga sampailah mereka pada gazebo di taman kampus.
Kalau Gie tidak salah ingat, tempat ini biasanya digunakan si gadis kampung untuk berlama-lama di depan laptop. Mengingat suasana taman yang asri, nyaman, dan menenangkan, sangat pas untuk mengerjakan tugas.
"Ngapain lo di sini?"
Gie tersentak ketika Revan sudah berdiri menjulang di hadapannya dan sedang menatap tajam. Gadis itu dengan cepat memutar otak untuk mencari alasan. "Nggak apa-apa. Aku cuma kebetulan lewat sini."
Gie menahan napas saat Revan memicing penuh curiga. Setelahnya, laki-laki itu melenggang duduk di gazebo kampus.
Ini beneran Revan nggak ngusir gue?
Perempuan dengan pakaian serba mewah dan seksi itu memekik kegirangan. Dia berpikir Revan mengizinkan untuk bersamanya, maka tanpa aba-aba Gie meloncat duduk di samping Revan.
Dahi gadis berlipstik ranum itu mengerut sejenak. Revan membuka laptop lalu membaca postingan Twitter yang tentang galau, patah hati, putus cinta. Sontak Gie menepuk dahinya, ternyata efek seorang Soraya memang luar biasa.
Selama beberapa detik mereka berada di bawah keheningan dengan Revan yang masih menggulir dan meresapi kata-kata di sana. Hingga, sebuah kalimat meluncur membuat jantung Gie berhenti berdetak.
"Lo pernah merasa kehilangan?"
Gie ingin membalas dengan berteriak kencang jika dirinya pernah merasakan itu. Dia pernah kehilangan seseorang yang dicintainya yang kini sedang mendambakan kehadiran gadis lain. Namun, tidak ada teriakan itu, hanya suara kikuk yang keluar dari mulutnya. "Uhm ... pernah. Kenapa?"
"Rasanya bagaimana?"
Gadis itu menatap wajah Revan dari samping. Di sana terukir ekspresi kesedihan yang amat mendalam---sama apa yang dirasakannya dulu saat Revan memutus hubungan mereka.
"Rasanya ... kayak kamu punya sesuatu yang berharga, yang kamu percaya, bahkan perannya lebih penting dari harta, tapi tiba-tiba pergi tanpa alasan." Gie tersenyum getir. "Pergi tanpa tahu salah kita apa."
Revan mengalihkan pandangannya dari layar laptop, kata-kata yang terpampang di sana seolah-olah sudah tidak bermakna dibandingkan pengungkapan yang terdengar tulus dan menyakitkan.
Dia menoleh dan mendapati Gie sedang tersenyum lebar kepadanya, seakan kesedihan tadi yang dia ucapkan tidak pernah ada.
"Lalu, apa yang lo lakukan?"
Gie tertawa. Merdu. "Aku? Selama aku masih punya tangan, kaki, aku akan berusaha untuk meraih hal berharga itu lagi. Karena ini kehidupan, kadang dia menantang kita untuk merebut kembali apa yang jadi hak milik kita. And yeah, i will do it."
Revan mulai mengerti apa yang dimaksud Gie. Kemudian, dia mengubah posisi duduk menjadi berhadapan dengan Gie dan perlahan Revan memajukan wajahnya untuk mendekati gadis itu.
Gie menahan napas, terkejut dengan tindakan Revan yang tiba-tiba. Sialnya, di belakang Gie sudah tembok kayu gazebo, Gie otomatis terkunci dalam posisinya.
Terdengar embusan napas Revan begitu dekat di telinga Gie. "Sesuatu berharga yang lo maksud itu gue, 'kan?"
Jantung Gie berpacu cepat karena dirinya dengan Revan hampir tidak berjarak. Ucapan laki-laki itu yang terdengar sangat seksi di telinga dan menghipnotis pikiran Gie hingga tanpa sadar dia mengangguk.
Revan tersenyum miring. Menjauhkan diri dari Gie dan kembali pada posisi semula. "Jadi, lo pasti tahu di mana Soraya sekarang."
Gie membelalakkan mata. Setelah dibuat hampir pingsan dengan tindakannya, sekarang dia dikejutkan dengan tuduhan dari Revan itu.
"Ng-nggak! Kok kamu nuduh aku?"
Revan kembali menunjukkan senyum miringnya, menatap Gie penuh godaan kemudian hendak mendekatkan wajah lagi. Namun, Gie segera bertindak dengan menahan bahu Revan. Dia menatap horor dan matanya membulat.
"Iya-iya! Aku tahu di mana dia, tapi stop jangan kayak gitu lagi!" ucap Gie penuh ancaman.
Revan menahan tawanya. Itu adalah cara andalan untuk menyudutkan Gie agar mengaku. Lagipula, Revan tidak akan selancang itu kepada perempuan apalagi sekarang berada di lingkungan belajar.
Dan sekarang, dengan penuh kemenangan, Revan menunggu Gie untuk memberitahunya tentang keberadaan Soraya.
Namun, Gie adalah Gie. Perempuan dengan sejuta ide liciknya yang sulit dikalahkan---kecuali dengan tindakan liar yang dilakukan Revan sebelumnya---tidak akan begitu mudahnya tertipu daya.
Dia segera berpikir keras untuk sebuah imbalan yang akan dia dapatkan jika memberitahu keberadaan Soraya. Dan ya, Gie tidak pernah kecewa mempunyai otak cerdas mengambil kesempatan di dalam kesempitan.
"Ada syarat yang berlaku jika kamu mau tau di mana Soraya."
Revan memutar bola mata. "Apa?"
Gie tersenyum manis. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Revan dan membisikkan sesuatu di sana.
"Lo gila?!"
Gie tersenyum sembari mengedikkan bahu. "Imbalan yang setimpal untuk sesuatu yang besar."
Revan menggeramkan giginya. Dia balas menatap mata Gie yang sama seriusnya sedang menatap matanya. Terjadi perdebatan besar di sana, tetapi hanya dengan pandangan semuanya dapat tersalurkan.
Setelah perdebatan panjang tanpa pembicaraan itu tuntas, Revan mengembuskan napas kasar. Dia menatap Gie yang menyunggingkan senyum lembut dan laki-laki itu berpikir, tidak ada salahnya memperbaiki yang sudah lalu, 'kan?"
Dengan mantap dan tanpa keraguan, Revan berkata, "Oke, deal."
Gie melonjak bahagia. Dia tersenyum sangat lebar dan segera mengetikkan alamat Soraya pada ponsel bermata tiga dan mengirimkannya kepada Revan. Setelah sukses terkirim, Gie mendekati Revan dan buru-buru memeluknya.
Revan terkejut. Berpikir sejenak, apa dia harus membalas pelukan pacarnya?
***
Ada yang seneng mereka official lagi? Hahaha, aku sih senang. Karena walaupun tokoh antagonis, mereka berhak bahagia 🤣🤣🤣
Terima kasih sudah membaca, semoga suka!-♡
KAMU SEDANG MEMBACA
After She's Gone
Romance[ End. Cerita Lengkap ] Soraya Mekarwati, seorang gadis berparas ayu dari kampung yang mendapat beasiswa kuliah ke Jakarta dan memberanikan diri tetap berangkat tanpa persetujuan ibunya. *** Untuk menghidupi kebutuhan di Jakarta, Soraya bekerja seb...