5. Kesan Pertama

3.5K 399 121
                                    

Setelah mengirimkan formulir data diri lengkap melalui browser di internet milik Freda, Soraya segera melangkahkan kakinya menuju dapur. Kuliah secara resmi akan dibuka satu minggu lagi dan selama itu Soraya akan memaksimalkan waktu untuk melakukan perkenalan dengan Oma Dahayu, ibu dari Nyonya Freda yang akan dirawatnya.

Kesan baik harus didapatkan saat pertemuan pertama. Maka dari itu, dengan riang hati Soraya akan membuatkan sarapan yang terbaik untuk oma.

“Bi Ida, oma suka nggak, ya, kalau aku bikinin bubur?”

Soraya bertanya setelah tiba di sebelah wanita yang berpakaian sama dengannya. Bi Ida tampak sibuk dengan potongan bawangnya, menoleh sekilas. “Suka, Ray. Favoritnya oma itu kalau sarapan.”

Soraya melebarkan mata. Semangatnya membuat bubur kini meningkat drastis. Dengan sigap, gadis itu langsung mencuci beras dan merendamnya dalam air. Dia ingin membuat bubur nasi dengan taburan jagung manis dan potongan daun bawang di atasnya.

“Bi, ini kompornya gak keluar api?

Soraya menatap keheranan kompor rata di depannya. Sedari tadi dia sudah memutar knop kompor untuk merebus berasnya, tetapi api tidak kunjung tiba.

“Lihat merah-merah di bawahnya? Itu inframerah pengganti api, Ray. Udah ke rebus kok berasmu,” Ida tertawa kecil.

Soraya seketika teringat sesuatu, dia pernah memelajari mengenai inframerah di sekolah dan ternyata dipakai di kompor listrik ini. Soraya ikut tertawa kecil dan mengucapkan terima kasih.

Setelah kurang lebih lima menit, air yang berisi beras itu terdengar gemeresik. Soraya segera mengaduknya perlahan-lahan dan mengecilkan sedikit api.

“Raya, nanti hati-hati, ya.”

Soraya mengerutkan alis menatap Ida. “Kenapa, Bi?”

“Pokoknya yang hati-hati aja. Jangan kaget nanti kalau ketemu oma, soalnya oma kayak gak ramah sama orang baru.”

Soraya memelankan adukannya. “Kenapa gak ramah sama orang baru?”

Bi Ida menghentikan sejenak aktivitasnya menumis bumbu. Aroma wangi bercampur lezat seketika memenuhi rongga pernapasan mereka. “Bukan sama orang baru aja, Ray. Oma emang agak galak ke semua orang kecuali keluarganya.”

Bi Ida yang melihat perubahan air muka Soraya menjadi gelisah, seketika merasa bersalah. “Kamu gak usah takut, Raya. Yakin aja oma pasti nerima kamu dengan baik, apalagi dibikinin bubur seenak itu, eh, Ray, itu jangan berhenti diaduk.”

Soraya langsung mengalihkan fokusnya pada beras yang perlahan lembek menjadi bubur itu. Setelah dirasa kematangannya pas, Soraya menuangkan bubur pada mangkuk. Menatanya bersisian dengan segelas air mineral di atas nampan.

“Ya sudah Bi, Soraya mau ke atas dulu.”

“Iya, hati-hati, Ray.”

Soraya mengembuskan napas sebelum berjalan ke lantai dua dengan hati-hati. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang, rasa gugup menyergap saat kata-kata Bi Ida terngiang. Dengan segenap keyakinan, Soraya mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dan perlahan mengetuk pintu kamar Oma Dahayu.

Pintu kamar tidak terkunci, Soraya membukanya pelan kemudian berangsur masuk. Nuansa kamar pertama kali yang ditangkap netranya sungguh menentramkan. Cat dinding cokelat susu yang dipadukan warna putih bersih dapat memanjakan mata dan membuat siapa pun yang memandangnya akan tersenyum bahagia.

Mata Soraya menjelajah ke seluruh ruangan. Seorang wanita dengan penutup kepala rajut biru toska sedang duduk di kursi roda dengan tenang sembari menyorot jauh pemandangan di balik jendela besar kamar. Soraya sudah menduga itu adalah Oma Dahayu. Tanpa menunda-nunda lagi, Soraya pun menghampiri.

“Selamat pagi. Perkenalkan saya Soraya Mekarwati, yang akan menjadi pendamping Oma.” Soraya menarik kedua sudut bibirnya lebar seraya menunggu respons wanita lanjut usia itu.

Satu menit berlalu, tidak ada tanda-tanda dari Oma Dahayu akan menanggapinya. Dia tetap memandang panorama di balik kaca yang menampilkan tanah lapang dengan rumput hijau membentang.

Soraya berdeham, dia menatap hidangannya. “Raya bawain sarapan buat Oma. Bubur dengan taburan jagung manis, kaya akan vitamin C, bisa menjaga kekebalan tubuh. Dimakan, ya, Oma. Mau Raya suapin?”

Soraya tersenyum manis dan mendudukkan dirinya di samping oma. Satu sendokan bubur sudah siap dan hendak Soraya dekatkan pada mulut oma yang sedikit miring karena efek penyakitnya. Namun, sebelum suapan bubur itu mendarat dengan baik pada tempatnya, sendok itu melayang dan mendarat keras di lantai. Membuat bubur di atasnya tumpah dan bunyi nyaring terdengar dari benturan antara aluminium dan marmer.

Tidak cukup sampai di sana, setelah kondisi sendok yang tergeletak nanar, kini giliran mangkuk yang berada di tangan Soraya dibanting dengan kasar tepat di sebelah gadis itu. Menimbulkan suara pecahan yang luar biasa, membuat jantung Soraya seolah hampir meledak.

Mangkuk kaca putih itu hampir mengenai kepalanya. Satu sentimeter lagi.

Soraya mengatur napasnya yang tidak karuan. Sedangkan Oma Dahayu di depannya mengerang marah dengan kakinya mendorong tubuh Soraya supaya menyingkir.

Soraya masih belum memahami keadaan. Tubuhnya terjerembap bersama tumpahan bubur yang tersebar di mana-mana. Baju seragam yang baru dia kenakan hari ini, kotor oleh benda kental berwarna putih itu.

“Oma ... kenapa?”

ERRGHH!

“Oma?”

Ctyaaar!

Sisa pecahan mangkuk kaca yang masih tergenggam di tangan oma, lolos begitu saja tepat di atas kepala Soraya. Gadis itu sontak memejamkan mata, menahan air mata ketakutan sebelum pada akhirnya bangkit perlahan-lahan.

Oma Dahayu menatapnya seolah-olah dia adalah penjahat nomor satu di dunia. Tatapan yang menunjukkan penuh kebencian, kemarahan, dan seperti belum puas melampiaskan amarah. Soraya tidak berani mendekat, dia tidak tahu apa penyebab oma hingga bisa seperti ini.

Soraya memberanikan diri berjalan mendekat. Dia ingin menenangkan oma yang sedang terbelenggu emosi. Namun, yang terjadi bukan hal yang seperti Soraya harapkan, melainkan jambakan kuat dari tangan keriput oma lah yang dia dapat. Membuat akar-akar rambut Soraya terasa panas dan gadis itu berteriak dengan tertahan.

Untungnya itu tidak berlangsung lama karena Bi Ida segera menyelamatkan Soraya. Dia menyuruh Soraya untuk segera keluar, tetapi gadis itu tetap bersisi kukuh di sana.

“Keluar dari kamar ini, Raya! Cepat! Oma bisa terus marah kalau lihat kamu di sini,” perintah Bi Ida cepat dengan ekspresi panik tercetak di wajahnya.

“Tapi, tapi, Bi ... oma lagi—“

“Cepat!”

Seruan itu bersamaan dengan erangan kencang dari Oma Dahayu. Matanya tidak terlepas dari Soraya hingga gadis itu keluar kamar. Hanya menyisakan Bi Ida yang menenangkan oma perlahan-lahan sembari membereskan kekacauan.

Air mata Soraya meluruh setelah menutup pintu kamar itu rapat-rapat. Apa salahnya? Kenapa dia harus mendapat tatapan seperti itu? Padahal Soraya tidak ada niat sama sekali untuk menyelakai oma.

Soraya menutup wajahnya, bukan karena takut jika dirinya terluka, melainkan takut jika pandangan seperti tadi akan ditujukan padanya selamanya.

 ***

Akhirnya Soraya ketemu sama nenek yang mau dirawat. Tapi kok galak ya, ada yang tahu kenapa?

Terima kasih sudah membaca, setelah badai akan datang salju ♡

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang