25. She's Gone

3.7K 253 71
                                    

Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.

Revan menatap ponselnya dengan pandangan lelah karena berkali-kali mengumandangkan kalimat yang sama. Sejak tadi dia berusaha untuk menghubungi Soraya, tetapi tidak mendapat jawaban dari gadis itu. Revan hanya ingin bertemu, memastikan keadaannya baik-baik saja. Di pertemuan terakhir dirinya memang kecewa karena penolakan, tapi bukan berarti Revan membenci Soraya.

"Ray, angkat, please."

Laki-laki dengan kaos hitam dan kemeja biru dongker itu menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Mendesah kecewa ketika lagi-lagi panggilannya tidak terjawab.

Merasa jika menelepon bukanlah cara yang bisa berhasil, Revan memutuskan untuk mengunjungi Soraya ke fakultasnya. Meskipun harus berjalan beberapa ratus meter, itu tidak menjadi masalah karena feeling-nya mendadak tidak enak dan dia hanya ingin bertemu dengan Soraya secepatnya.

Sesampainya di kelas tempat Soraya kuliah hari ini, Revan menghampiri sepasang saudara kembar yang kerap bersama Soraya.  Mereka sedang berdiri di balkon sembari menghadap ke lapangan yang ada di bawah.

"Permisi."

Dua wanita itu menoleh bersamaan. Sedikit tersipu dan malu-malu karena yang menyapa mereka adalah seorang pangeran kampus. Laki-laki yang diidolakan seluruh kaum hawa bahkan Gie--mahasiswi terbadas--bisa tergila-gila dengannya.

"Ya, Kak? Ada yang bisa dibantu?" ujar salah satu dari mereka yang mempunyai tanda lahir kecil di pipi.

"Kalian lihat Soraya?"

Kedua perempuan kembar identik itu saling berpandangan beberapa detik kemudian menggeleng. Ekspresi Revan otomatis gusar bercampur khawatir.

"Raya nggak masuk kelas pagi ini, Kak. Dia alpa, tanpa keterangan dan izin."

Mendengar itu, Revan tidak bisa untuk menyembunyikan raut terkejutnya. Dia sangat tahu, jika Soraya bukan tipe mahasiswa pembolos yang masuk kuliah seenak jidatnya seperti kampus milik sendiri. Gadis itu bahkan mati-matian belajar mempertahankan IPK-nya demi bisa memperpanjang beasiswa. Dan membolos, kata itu sangat jauh bahkan asing bagi sosok seperti Soraya.

"Nggak ada kabar dari dia sama sekali? Mungkin nggak sempat bikin surat?"

Mereka mengedikkan bahu. "Nggak ada WA di grup atau pribadi, sih, Kak. Anak-anak kelas tadi juga nggak ada yang tau," ungkapnya dengan jujur meski sebenarnya gadis kembar itu gugup bukan main.

Mata Revan menyorotkan kegelisahan. "Terakhir dia ngehubungin kalian kapan?"

Salah satu dari mereka yang tidak mempunyai tanda lahir menunjukkan ponselnya pada Revan. Roomchat tertayang di layar dan waktu menunjukkan sudah dua hari yang lalu. Begitu juga dengannya, Soraya berhenti membalas tepat dua hari yang lalu.

"Oh, thanks, ya. Sorry ganggu waktu kalian. Kalau dapat informasi dari dia, jangan sungkan langsung hubungin gue." Revan bersiap untuk pergi, sebelum melangkah dia melemparkan senyum tipis. "Bye!"

Dua wanita muda itu memekik tertahan. Mimpi apa mereka semalam bisa mendapatkan senyum manis dari seorang ketua BEM terkenal? Mereka seketika membayangkan bagaimana jika menjadi Soraya yang setiap hari bersama Revan dan memandangi pahatan wajah tampan itu. Mungkin dunia akan selalu terasa indah.

"Eh, tunggu deh, Dek." Gadis kembar yang sebagai kakak itu tiba-tiba menghentikan langkah adiknya yang hendak berjalan.

"Apa, Kak?"

"Kayaknya gue inget, kemarin pas Soraya masih berangkat kuliah dia nyelipin kertas ke laci meja terus senyum ke gue gitu."

Si adik membelalakkan mata. "Serius?"

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang