Suasana bangunan bercat putih yang kental aroma obat-obatan terasa hening setelah Fitri masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Tempat ini merupakan satu-satunya klinik pengobatan yang berada di desa. Para warga sekitar akan pergi ke sana ketimbang rumah sakit besar di kota karena biaya yang mahal.
Soraya bersama Brama menunggu di luar ruangan. Gadis itu tidak berhenti mengucurkan air mata, karena entah mengapa perasaannya berkata hal buruk akan terjadi nanti. Di sisinya ada Brama yang mengusap punggungnya, terus menenangkan dan berbisik semuanya akan baik-baik saja.
Lima belas menit kemudian, dokter laki-laki keluar dari ruangan. Ia mendatangi keluarga pasien yang ekspresinya nampak khawatir.
Dokter mendesah sedih. "Ibu Fitri detak jantungnya melemah. Di sini hanya bisa memberi alat bantu pernapasan. Sebaiknya beliau dibawa ke rumah sakit supaya mendapatkan perawatan yang memadai."
Soraya menutup mulutnya. Air mata semakin deras membasahi pipi, tak terduga keadaan ibunya separah ini. Ia bersandar pada dada Brama, tidak kuat menopang tubuhnya sendiri.
Brama mengusap lembut lengan Soraya. Dia berkata, "Saya akan bawa Bu Fitri ke rumah sakit kota, Dok. Mungkin sekitar dua jam mobil ambulans akan sampai di sini. Selama itu Bu Fitri masih bisa bertahan?"
Dokter melihat jam tangannya kemudian mengangguk. "Dengan alat pernapasan itu, akan saya usahakan untuk beliau tetap bernapas. Dimohon untuk terus berdoa demi keselamatannya."
Lalu, dokter itu kembali masuk ke dalam ruangan meninggalkan Soraya yang semakin terisak. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika Fitri meninggalkannya. Hanya ibunya lah satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Ssttt, hei, jangan mikir aneh-aneh. Ibu pasti baik-baik aja. Kita berdoa, ya." Brama mengecup puncak kepala Soraya sekilas. Dia bisa merasakan ketakutan mendalam yang dialami gadisnya. Kemudian, Brama memimpin berdoa untuk keselamatan Fitri.
Tuhan, jangan ambil ibuku sekarang. Aku masih ingin membahagiakan beliau. Selama ini, cuma nyakitin hati ibu. Tolong.
Soraya duduk di kursi tunggu sementara Brama keluar untuk menelepon orang di Jakarta. Meminta untuk segera mendatangkan mobil ambulans guna membawa Fitri. Setelah urusan selesai, dia menghampiri Soraya dan duduk di sebelahnya.
"Bi Yanti dan Paman, aku kasih tau sekarang?" Brama bertanya pelan sembari mengusap pelan kepala gadis yang bersandar di bahunya.
Soraya menggeleng pelan. "Nanti aja, Mas. Mereka pasti sibuk beresin sisa acara tadi. Aku takutnya mereka nggak tenang karena khawatir."
Brama mengangguk. Dia merundukkan kepalanya supaya dapat menghisap aroma rambut Soraya yang masih disanggul. "Jangan pernah berpikir kalau kamu sendirian di dunia ini. Kamu punya aku, aku selalu ada buat kamu, Ray."
Brama sangat tahu apa yang dipikirkan Soraya, maka dia tidak ingin perempuan yang dicintainya merasa kesepian, tidak punya siapa-siapa. Brama akan setiap saat hadir untuk Soraya.
Sebagai balasan, Soraya mengeratkan pelukannya di perut Brama. Sekarang, dia hanya ingin rengkuhan, ketenangan, yang bisa mendamaikan hati dan pikiran. Tentu saja semua itu ia dapat dari laki-laki terbaiknya, Brama.
Karena itu, Soraya perlahan terbawa ke alam mimpi. Ia tidur damai dengan berbantalkan dada bidang Brama. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa keberatan justru tersenyum senang karena Soraya bisa istirahat setelah seharian kelelahan.
Saat dua-duanya terlelap dengan tenang, tiba-tiba suara derap kaki tergesa-gesa mendatangi mereka. Wajah dokter nampak pias dan kacamata sudah ditanggalkannya.
Sontak Soraya dan Brama yang mendengar itu terbangun dan bertanya-tanya apa yang terjadi pada Fitri.
"Bu Fitri kritis. Denyut nadinya semakin melemah, beliau hampir tidak kelihatan bernapas." Dokter menatap iba. "Mungkin ini waktunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
After She's Gone
Romance[ End. Cerita Lengkap ] Soraya Mekarwati, seorang gadis berparas ayu dari kampung yang mendapat beasiswa kuliah ke Jakarta dan memberanikan diri tetap berangkat tanpa persetujuan ibunya. *** Untuk menghidupi kebutuhan di Jakarta, Soraya bekerja seb...