26. Pencarian

2.7K 208 56
                                    

Setelah satu minggu sejak kepergian sosok asisten terbaik dari rumah, suasana kediaman bahkan pemiliknya menjadi sedih. Tidak ada masakan lezat setiap pagi, tidak ada yang menemani oma tidur tiap malam, membuat wanita berusia 70 tahun itu kembali meredam semangat hidupnya.

Oma benar-benar kesepian.

Melihat itu Brama tidak tega. Dia sama kacaunya, tidak bersemangat bekerja. Hari-hari yang dijalani terasa biasa bahkan buruk tanpa kehadiran Soraya. Karena sadar atau tidak, gadis itu sudah mengisi separuh jiwa Brama.

Lihatlah bagaimana sunyinya rumah tanpa kehangatan. Oma tidak mau membuka mulut untuk makan sesuap nasi, hanya air mata yang terus turun sebagai gambaran perasaannya.

Brama menghela napas panjang, meminta mangkuk bubur ayam dari tangan Bi Ida. "Biar saya yang nyuapin, Bi."

Perempuan itu mengangguk pasrah. Ekspresinya murung karena tidak berhasil membujuk oma. Brama mendekat, berlutut di depan neneknya yang memandang hamparan hijau di balik kaca besar kamar.

"Oma, makan, ya." Brama menjulurkan sesendok bubur. Senyuman teduh terukir di bibirnya dan berhasil membuat oma menatap cucunya itu.

Gelengan pelan sebagai balasan. Mulut oma tetap tertutup rapat. Senyum Brama perlahan luntur. Jika oma tidak makan, kondisinya akan lebih buruk dari ini dan Brama tidak mau kehilangan orang tersayang lagi.

Menyerah, Brama meletakkan buburnya di meja terdekat. Dia duduk di lantai, bersandar ke kaca dan menghadap omanya. Matanya sayu, terpancar kesedihan dari sana, tetapi pemilik mata sehitam jelaga itu berusaha menyembunyikan.

"Oma ingin bertemu, Soraya?"

Kepala oma segera menoleh menatap Brama. Terlihat harapan yang sangat besar pada mata keriputnya. Tanpa berbicara, Brama sudah tahu jawabannya. Neneknya itu sangat-sangat menginginkan Soraya.

Dia tersenyum lemah. "Brama akan mencari Soraya, Oma."

Membawanya kembali ke rumah dan ke pelukan kita.

Laki-laki itu lantas bangkit. Menyuruh kembali Bi Ida untuk menjaga omanya. Dia tidak boleh lama-lama merenung tanpa bergerak. Dia harus segera bertindak mencari keberadaan Soraya dan Brama tahu dia harus mulai mencari informasi ke siapa.

***

Laki-laki berperawakan tinggi dengan bahu bidang berjalan tenang menyusuri koridor kampus. Mata di balik benda hitam yang menghiasi indra penglihatan itu menangkap para mahasiswi sedang menatapnya penuh puja. Bahkan salah satu di antara mereka berani meneriakkan "Oppa" dengan keras.

Brama tetap berjalan, membuka kaca matanya dengan gerakan yang sangat pelan. Perempuan-perempuan di sana menutup mulutnya karena terbelalak melihat wajah utuh seorang Brama.

Setelah mendapatkan informasi dari ruang tata usaha mengenai keberadaan Revan, Brama segera berjalan menuju tempat anggota BEM berkumpul. Sesampainya di sana, Brama berdiri di depan ruangan menunggu laki-laki yang dia tahu cukup dekat dengan Soraya untuk keluar.

Sedangkan di dalam, Revan mengalihkan perhatiannya sejenak dari kertas-kertas. Dia menatap pria di luar yang sedang mencarinya.

"Bentar, lo ambil alih dulu." Revan menyerahkan kertas penuh tulisan itu kepada temannya, kemudian beranjak dari kursi. Setelah tiba di ambang pintu, dia menatap Brama tanpa menunjukkan ekspresi apapun.

Setelah melihat Revan, Brama berdeham. "Maaf jika mengganggu waktumu. Saya ingin bertanya sesuatu."

Raut wajah Revan sedikit melunak. Dia melirik jam tangan, masih ada waktu sekitar lima menit untuk berbicara. "Tentang apa?"

"Soraya."

Brama mengamati Revan yang terkejut mendengar itu. Ekspresi teman Soraya itu seketika berubah menjadi sendu.

"Selama satu minggu ini, dia pergi dari rumah saya. Tidak ada penjelasan yang jelas perginya ke mana. Kamu tau ke mana Soraya?"

Revan tahu, Brama merasakan hal yang sama dengan dirinya. Terlihat dari pandangan kosong laki-laki itu saat berbicara yang menunjukkan perasaan kehilangan sangat dalam.

Ketua BEM itu menggeleng. "Dia juga nggak ngasih tau ke gue. Raya hanya ninggalin surat perpisahan." Ingatan Revan melayang ketika mahasiswi kembar menyerahkan surat yang mereka temukan di laci Soraya. Surat itu memang ditujukan untuk Revan, tetapi jika boleh meminta, Revan minta untuk tidak mendapatkan surat itu. Karena dia tidak mau berpisah dari Soraya.


"Saya sudah menduga itu, Soraya tidak memberitahu kepada siapapun tentang kepergiannya." Mungkin gadis itu tidak mau dicari oleh siapapun. Brama menghela napas, merasa menyesal karena dia sempat sangat cuek kepada Soraya. Perhatian gadis itu semua dia abaikan. Andai bisa mengulang waktu, Brama tidak akan melakukan itu.

"Ya, gue rasa juga gitu." Revan menatap rumput gajah di luar yang menutupi tanah. Inilah salah satu favoritnya dari kampus idaman ini karena semua area dirawat dengan asri.

Brama sedikit berdeham sembari menegakkan punggungnya. Dia memakai kembali kacamata dan menoleh ke Revan. "Baiklah, saya pamit dulu. Terima kasih atas waktunya."

Laki-laki itu berjalan menjauh. Sedikit kecewa karena informasi tentang Soraya tidak dia dapat. Brama memijat keningnya pelan, bingung mencari Soraya ke mana lagi.

"Tunggu!"

Revan sedikit berlari untuk sampai di sisi Brama. Dia menatap Brama. "Lo suka sama Raya?"

Brama memicingkan matanya di balik kacamata. Dia berujar tenang. "Kenapa?"

Rahang Revan sedikit mengeras. Ternyata benar Soraya dan Brama saling mencintai, hal itu yang membuatnya ditolak. "Kalau lo nggak bener-bener tulus sama dia, lebih baik lo menjauh."

Brama membuka kacamata, menampakkan ekspresi tenangnya. "Tahu apa Anda tentang ketulusan saya?"

Revan melemparkan tatapan tajam, mengabaikan pertanyaan itu. "Biarin Raya bebas, biarin dia memilih sendiri pilihan hatinya. Dia bekerja sama lo, bukan berarti hatinya juga terikat dengan lo."

Brama tidak menunjukkan lagi ekspresi tenangnya melainkan raut wajah yang lebih serius. "Kamu ngomong seperti ini ke saya karena cintamu ditolak Soraya? Dan kamu nyalahin saya?"

Tubuh Revan menegang. Sebenarnya dia masih susah menerima kenyataan bahwa Soraya tidak mencintainya juga. Revan berasumsi, itu karena Soraya merasa tidak enak kepada bosnya.

"Kalau kamu benar-benar dekat dengan dia, seharusnya kamu tahu kepribadiannya. Apa dia terlihat terpaksa selama bekerja dengan saya? Apa dia pernah mengeluh karena perintah saya?" Brama menjeda. "Saya tidak pernah memaksakan perasaan Soraya, walaupun saya mencintainya. Jika dia menolak kamu, itu artinya kamu yang harus menerima kenyataan."

Revan mencerna kata-kata itu beberapa saat. Dia kembali melihat Brama yang tampak ingin berbicara.

"Saya tahu apa yang kamu rasakan, tetapi ini bukan waktu yang tepat untuk mempeributkan itu mengingat Soraya telah pergi dari kita." Brama menghembuskan napas lelah, dia memperbaiki letak kemejanya. "Kabari saya jika mendapat informasi mengenai Soraya dan saya pun akan melakukan sebaliknya."

Brama menyerahkan kartu namanya. Revan menatap itu sejenak dan akhirnya menerima. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bersaing, justru mereka berdua harus bekerja sama supaya tidak benar-benar kehilangan Soraya seutuhnya.

Atau, penyesalan menanti mereka berdua.

***

Halo, gimana nih? ^^

Terima kasih sudah membaca, semoga suka ya!-♡

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang