"Hati-hati, ya, Nduk. Sering main ke sini juga, Bulik bakal rindu banget sama kamu." Yanti mengurai pelukannya. Dia menangkupkan wajah Soraya, tersenyum penuh haru melepas keponakannya pergi untuk yang kedua kalinya.
"Iya, Bulik. Kalau Raya ada waktu luang di sela-sela kuliah, nanti langsung main ke sini. Raya juga bakal kangen banget."
Mereka berdua kembali berpelukan. Yanti sebagai pengganti sosok Fitri, sangat menyayangi Soraya. Dia juga ingin yang terbaik untuk keponakannya dan ia yakin kebahagiaan gadis itu bisa didapat dengan caranya sendiri.
"Yang rajin belajar, yo. Bikin bapak sama ibumu bangga di sana."
Soraya mengusap air matanya yang menetes. Dia tersenyum lebar, mengangguk penuh keyakinan akan menggapai mimpinya demi kebahagiaan orang tua. Soraya ingin membuktikan bahwa perjuangan mereka mendidiknya selama ini tidak akan sia-sia. Walaupun tidak berada di dunia yang sama, Soraya bisa merasakan dukungan dari keduanya.
"Raya janji. Akan bikin Bapak dan Ibu bangga," ucapnya yakin penuh ketegaran.
Kemudian, Soraya bergilir memeluk pamannya. Warno yang dulu-dulunya tidak mendukung Soraya, kini merasa menyesal. Ternyata impian dan masa depan yang cerah perlu digapai. Dengan usaha keras dan perjuangan yang tidak mudah.
"Maaf, dulu Paman menentang mimpimu, Ray."
Di balik punggung Warno, Soraya tersenyum. "Nggak apa-apa, Paman. Terima kasih, sudah jaga Ibu waktu Raya pergi. Paman dan Bulik sangat membantu Raya."
Warno meneteskan air mata. Ternyata hati keponakannya sangat bersih, lembut, bahkan tidak menyimpan dendam setitik pun kepadanya. Ia sangat beruntung bisa menjadi orang tua pengganti bagi anak baik itu.
"Ray, Paman boleh berpesan?"
Soraya melepas pelukannya. Menatap pamannya dengan pandangan penasaran. Suasana rumah yang akan Soraya tinggalkan ini sejenak hening, hanya tas besar Soraya di atas meja yang menjadi saksi.
"Kamu nikahnya setelah kuliah selesai aja, ya, Ray. Jangan buru-buru. Fokus ke pendidikan kamu." Ucapan Warno terdengar tulus. Ia memberi pesan selayaknya seorang ayah menasehati anaknya.
Soraya tertawa kecil. Ternyata masalah itu. "Iya, Paman. Raya juga fokus ke pekerjaan kok."
Biar sedekat apapun hubungannya dengan Brama, Soraya tidak akan bergantung kepada kekasihnya. Dia tetap menghidupi dirinya sendiri dengan uang hasil bekerjanya, karena status halal belum tersemat di antara mereka.
"Satu lagi, Ray."
"Ya?"
Warno tiba-tiba melirik istrinya sekilas sembari menahan senyuman. "Jangan lupa undang kita dan seluruh warga kampung, ya, kalau kamu menikah dengannya."
Seketika Soraya merasakan pipinya memanas. Pernikahan dengan Brama belum pernah ia bayangkan, tetapi dia akan sangat bahagia jika itu benar terjadi. "Iya, Paman. Pasti. Doain yang terbaik, ya."
Kemudian, Brama masuk ke dalam rumah. Dia baru saja menyiapkan mobil yang akan dipergunakan untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan motor Revan dikendarai oleh orang yang didatangkan Brama dari kota.
"Gimana, sudah siap?" tanya Brama di sebelah Soraya.
"Sudah, Mas."
Sebelum pergi, Brama berangsur menyalami Fitri dan Warno. Tak lupa dia memberikan beberapa lembar uang cash berwarna merah kepada mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan.
Mendapatkan rejeki tak terduga, mereka membelalak tidak percaya. Ternyata laki-laki pilihan Soraya memang sebaik itu. Sama sekali tidak perhitungan sebesar apa biaya yang dikeluarkan untuk keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
After She's Gone
Romance[ End. Cerita Lengkap ] Soraya Mekarwati, seorang gadis berparas ayu dari kampung yang mendapat beasiswa kuliah ke Jakarta dan memberanikan diri tetap berangkat tanpa persetujuan ibunya. *** Untuk menghidupi kebutuhan di Jakarta, Soraya bekerja seb...