"Selama satu semester ke depan, kalian ditekankan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar karena akan dilaksanakan uji kemahiran berbahasa Indonesia." Seorang lelaki yang menginjak usia lima puluh tahun, tetapi masih belum memiliki kerutan di pipi itu memandangi satu per satu anak didiknya yang tengah fokus memerhatikan. "Sekarang Bapak tanya, ada yang tahu pengertian secara rinci apa itu bahasa Indonesia yang baik dan benar?"
Suasana kelas pendidikan bahasa Indonesia yang baru dimulai beberapa menit yang lalu mendadak hening. Pagi ini udara sangat sejuk ditambah rintik air hujan di luar ruangan menjadi perpaduan pas untuk menyelami alam mimpi. Namun, satu pun tidak ada yang berani mencobanya mengingat dosen yang mereka hadapi sekarang adalah dosen paling terkenal akan ketegasannya di kampus.
Kesunyian itu berakhir hingga seorang laki-laki muda berambut ikal dengan kacamata bundar menghiasi matanya—mengacungkan tangan dan berdiri. Padangannya lurus ke depan seolah siap untuk menjawab pertanyaan.
"Bahasa Indonesia yang sesuai dengan EYD, Pak," jawabnya lantang.
Seketika dosen yang mengampu mata kuliah bahasa indonesia itu mendelikkan mata. "Kamu memerhatikan pertanyaan saya, tidak? Saya suruh menjawab secara rinci. Jawaban kamu itu saja tidak cukup untuk menjawab pengertiannya secara umum."
Mahasiswa bernama Rio itu tampak sangat terkejut. Dia menundukkan kepalanya, kemudian kembali duduk. Niat awal ingin menjadi mahasiswa aktif dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dosen, justru berakhir dengan mempermalukan diri sendiri.
Ruang kelas yang diguyur milyaran milimeter air itu terasa lebih menegangkan. Tatapan tajam dari dosen killer mereka mengawasi setiap gerak-gerik muridnya. "Ada lagi yang ingin menjawab pertanyaan saya?"
Satu detik. Dua detik. Hingga detik ke sepuluh, kelas masih sunyi. Pak Handoso menggeram, heran dengan mahasiswa-mahasiswi di sana yang masih bergeming karena pertanyaan yang dia berikan bisa dijawab murid SD kelas tiga.
"Tidak ada?" ulangnya penuh penekanan.
"Saya, Pak."
Pak Handoso segera menoleh ke sumber suara. Mengembuskan sedikit napas lega karena paling tidak anak didiknya tidak kalah dengan murid sekolah dasar yang jika tidak ditunjuk, tidak ada yang berani menjawab
"Silakan, Soraya."
Soraya mengangguk mantap. Jawaban yang sudah disusun siap dia ucapkan. "Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan pemakaian atau mitra bicara. Sedangkan bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah. Kaidah dalam bahasa Indonesia ada lima, yaitu kaidah ejaan, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik."
Soraya menunggu reaksi dari Pak Handoso dengan sangat gugup. Hal seperti ini lebih menguji jantung daripada mendengar ungkapan cinta dari seseorang yang tiba-tiba. Memikirkan itu, Soraya mengingat sesuatu.
"Bagus."
Mendengarnya, senyum lebar terkembang di bibirnya. Dia menundukkan kepala sopan dan kembali duduk.
"Kamu mahasiswi yang dapat beasiswa?" tanya Pak Handoso.
Soraya tersentak, kemudian mengangguk. "Benar, Pak."
"Lanjutkan."
Soraya mengulum senyum. Dalam hati dia sangat bahagia bisa membuat dosen senang. Memang sudah kewajibannya menjadi mahasiswi universitas terkemuka jalur beasiswa untuk selalu aktif dan memperoleh IPK tinggi.
Tidak terasa, dua jam berlalu begitu saja. Hujan di luar masih sangat deras, mengingat bulan Januari merupakan puncaknya. Begitu pula Soraya yang sudah tinggal di Jakarta mulai dari musim panas hingga musim dingin, selama satu semester pun sudah terlewati. Jujur dia sangat merindukan kampung halamannya dan paling khusus dia rindu kepada ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After She's Gone
Romance[ End. Cerita Lengkap ] Soraya Mekarwati, seorang gadis berparas ayu dari kampung yang mendapat beasiswa kuliah ke Jakarta dan memberanikan diri tetap berangkat tanpa persetujuan ibunya. *** Untuk menghidupi kebutuhan di Jakarta, Soraya bekerja seb...