Berlanjut

374 40 4
                                    

"Hidup harus terus berlanjut. Tidak peduli seberapa menyakitkan atau membahagiakan, biar waktu yang menjadi obat." – Tere Liye

Sea merenggangkan badan yang segera terdengar suara tulang belulang. Pegal sekali. Ia tidur selama 12 jam setelah kelelahan dan juga jet lag. Sesampainya di apartement Sea juga tidak mencuci muka dan berganti baju—tidak sama sekali. Langsung merebahkan badan tanpa perduli dengan apapun.

Masih dengan mata yang mengantuk, Sea melihat pada ponselnya yang tergeletak tidak jauh. Ponselnya nyaris mati karena kehabisan batrei. Sebelum itu Sea memeriksa sesuatu—

Astaga!

Sea lupa mengabari Singto maupun Krist. Bahkan Nanon—Lihatlah!

50 panggilan tidak terjawab dari Singto.

67 panggilan tidak terjawab dari Krist.

30 panggilan tidak terjawab dari Nanon.

Dan ratusan pesan singkat dari ketiganya.

Sea mengedipkan mata, bingung. Lantas mengeluh sambil menggaruk kepalanya. Tamatlah aku!

Sea memutuskan untuk mengisi batrei ponselnya terlebih dahulu. Setidaknya ia harus menyiapkan amunisi jika nanti akan diceramahi. Lagi pula Manhattan dan Bangkok memiliki perbedaan waktu 12 jam. Krist dan Singto bisa saja sedang terlelap sekarang.

Setelahnya Sea bangkit menuju koper, ingin mengambil baju bersih sekaligus membersihkan badan. Ia menoleh ke arah dinding ketika mendengar suara dari penghuni sebelah. Mungkin Sea akan membagi makanan nanti saat ia sudah berbelanja dan memasak sesuatu. Sekarang yang harus ia lakukan adalah... mandi!

***

Sea melipat tangannya di dada,"Baiklah, ini apa?"

Di depan Sea sudah berkumpul sekitar 5 orang mengangkut berbagai macam barang seperti microwave, rice cooker, mesin cuci lalu berbagai alat kebutuhan sehari-hari.

Ada salah satu orang yang sepertinya—pemimpin dari mereka—menjawab Sea dengan lugas,"Ini adalah perintah dari Tuan Singto, Nona."

Sea menghela napas, merasa bodoh. Tentu saja ini adalah perbuatan Singto. Tidak mungkin orang-orang asing tersebut secara ajaib berbaik hati padanya.

Tapi kan ia bisa membelinya sendiri?

"Tuan Singto hanya tidak ingin Nona kelelahan," orang tadi menyahut lagi seakan dapat membaca pikiran Sea.

"Saya Mark, saya yang akan membantu Nona di sini," Mark mengulurkan kartu namanya pada Sea. Sea melihat raut wajah Mark yang teduh dan masih terlihat sangat muda. Mungkin Mark adalah bapak-bapak muda beranak satu. Sea nyaris tertawa, tetapi setengah mati ia tahan.

"Terimakasih, Mark, tapi kurasa—sepertinya aku bisa sendiri." Sea berkata dengan penuh penekanan. Baiklah, mungkin ia tahu bahwa awal-awal kehidupannya di Manhattan mungkin saja sulit, tetapi Singto harus percaya dengannya. Mark hanya tersenyum dan mengangguk. Mengerti benar pada Sea yang masih memiliki ego yang tinggi.

Orang-orang suruhan Singto telah selesai mengerjakan pekerjaannya. Mereka—dan juga Mark—telah pergi dari apartement Sea. Sea mengedarkan pandangan, kalau sudah seperti ini ia tidak memiliki kerjaan. Bahkan ia baru sadar, apartement ini dalam keadaan sangat bersih. Pasti orang suruhan Singto yang membersihkannya.

Sea memutuskan untuk meminum teh buatannya. Mungkin ia akan menata barang-barangnya nanti. Kalau sedang seperti ini Sea jadi teringat Bibi. Sea menggelengkan kepalanya, mengusir rasa rindu yang mendadak datang. Ia mengusap pelan kalung pemberian Krist.

Bunga Terakhir 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang