Menanti

212 19 5
                                    


"Mungkin sudah saatnya kau menyerah."

Krist membuka matanya begitu sinar matahari sudah menyinari hampir seisi kamar. Tersenyum manis menemukan Singto yang masih memeluknya. Akhir pekan berarti bisa bangun di jam berapa pun yang kau inginkan. Walaupun tentu saja Krist harus segera bangkit untuk memasak sarapan.

Krist bergerak dengan perlahan dan duduk di pinggir kasur. Ia menahan napas begitu menemukan satu pesan singkat lagi. Dengan kalimat yang sama seperti semalam. Bedanya kali ini tertera nomor pengirimnya.

"Krist Perawat, apakah kau tidak ingin mencari Orangtua kandungmu?"

Krist membalas,"Siapa ini?"

Kepala Krist mendadak berdenyut. Ia takut. Ia takut berharap, takut kembali dijatuhkan. Krist memang ingin sekali bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetapi jika mengingat dulu mereka dengan teganya membuang Krist, ia tidak ingin bertemu. Ia marah.

Sebuah lengan kekar melingkari pinggang Krist, menariknya mendekat,"Kenapa sudah bangun?"

Krist menaruh ponselnya di meja nakas,"Kau harus sarapan, hei—"

Pelukan Singto semakin erat, bahkan sekarang ia sudah bergerak, dan berada di atas Krist. Menghirup aroma kesukaannya.

"Kau harus sarapan, Singto," ucap Krist sambil berusaha melepaskan pelukan Singto. Sulit sekali. Singto menempel kepadanya seperti gurita.

"Nanti saja, aku belum lapar." Lalu bibir Singto mendarat di bibir Krist. Memagutnya dengan lembut. Ciuman mereka semakin dalam. Krist akhirnya menyerah. Menuruti keinginan Singto.

Tampaknya mereka tidak akan keluar kamar dalam waktu dekat.

***

Krist nyaris tersedak,"Apa? Kita akan ke Manhattan?"

Singto berdecak dan menepuk pelan punggung Krist,"Hati-hati,"

"Jadi kita akan ke Manhattan? Bertemu dengan Sea?"

"Kau sudah mendengarku tadi,"

Krist berteriak tertahan, memeluk Singto,"Astaga! Apakah aku harus menghubungi Sea sekarang? Terima kasih, Singto!" Lalu Krist mengecup pipi Singto berkali-kali. Ia sangat bahagia. Sudah beberapa minggu keinginan itu hanya ia simpan sendiri. Takut jika Singto sedang sibuk dan akan mengganggunya.

"Sea sudah tahu, Ice sudah mempersiapkan semuanya. Kau hanya perlu mempersiapkan kopermu. Lusa kita berangkat," Singto tertawa, tidak tahan melihat Krist yang begitu menggemaskan.

Krist melanjutkan sarapannya sambil bersenandung. Ia tidak sabar ingin bertemu dengan Sea.

***

Kay menikmati ice creamnya dengan lahap. Di sampingnya ada Luke yang tidak berhenti mengomentari cara makannya yang berantakan. Ia dan Luke sedang beristirahat di bukit setelah lelah bermain dengan anak panti yang lain.

Luke dengan baik hati mengajar menggambar untuk anak-anak panti. Ia juga membawa berbagai macam peralatan menggambar yang sengaja dibagikan untuk mereka. Semua bergembira, selain karena seru, Luke juga pandai mengubah suasana menjadi menyenangkan.

"Terima kasih, ya?"

Luke mengernyit,"Untuk?"

"Untuk semuanya. Kau baik sekali. Sudah lama sejak kedatangan Phi Krist dan Phi Singto, anak-anak lain merasa panti tidak mengasikkan. Tapi hari ini semua bergembira,"

"Phi Krist dan Phi Singto?"

Kay menepuk jidatnya,"Ah, iya! Phi Krist dulu tinggal di panti, namun sekarang ia sudah menikah dengan Phi Singto,"

Bunga Terakhir 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang